Badan Narkotika Nasional mengatakan Renae Lawrence, warga Australia yang menjadi anggota penyelundup narkoba 'Bali Nine', telah menjalani hukuman dengan menerima perlakuan yang sama, seperti pelaku tindak kejahatan narkoba lainnya di Indonesia.
Renae menjalani hukuman dibalik jeruji selama hampir 13 tahun, setelah mencoba membawa 2,7 kilogram heroin dari Bali ke Australia, dengan cara direkatkan ke tubuhnya.
Ia dibebaskan lebih cepat dari hukuman penjara 20 tahun yang dijatuhkan sebelumnya, karena mendapat remisi setidaknya dua kali setahun saat 17 Agustus dan hari libur keagamaan.
Termasuk juga kelakuan baik dan beberapa alasan lainnya.
Renae Lawrence dibebaskan hari Rabu (21/11/2018).
Juru bicara BNN, Kombes Polisi Sulistiandriatmoko mengatakan Renae telah menyelesaikan masa tahanannya sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Kemudian proses pendeportasian akan dilakukan oleh dengan koordinasi antara Pemerintah Australia dengan Kementerian Imigrasi Indonesia.
"Ia tidak memiliki izin atau hak untuk tinggal lebih lama di Indonesia, jadi masalahnya akan ditangani oleh bagian imigrasi," ujar Kombes Sulistiandriatmoko saat dihubungi Erwin Renaldi dari ABC Indonesia di Melbourne.
'Media circus' mungkin terjadi
Warga Australia yang terlibat dalam kejahatan di Indonesia seringkali menarik perhatian wartawan yang bahkan tak jarang terbang ke Indonesia. Seperti yang terjadi bulan Mei tahun lalu saat Schapelle Corby asal Queensland dibebaskan dari Bali.
Program acara televisi 'Media Watch' menyebut liputan pembebasan Schapelle sebagai sebuah 'media circus', karenak media-media Australia yang saling berebutan satu sama lain demi mengejar berita terbaru.
Tapi nyaris tak disebutkan bagaimana Indonesia menilai pemberitaan pelaku kejahatan asal Australia di negaranya atau bagaimana tanggapan dari warga Indonesia kebanyakan.
Kombes Pol Sulistiandriatmoko mengatakan perhatian media adalah salah satu hal yang tidak bisa dicegah karena kasus-kasus yang menonjol, karenanya ia katanya menjadi "sebuah media circus."
"Tapi saya rasa ini tidak hanya terjadi di Australia, tapi juga di Indonesia."
Biaya hidup dibalik jeruji
Pemerintah Indonesia sudah beberapa kali mendapat kritikan dalam hal menangani kejahatan terkait narkoba.
Dio Wicaksana, dari Masyarakat Pemantauan Peradilan Indonesia dibawah Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, mengatakan ada yang tidak konsisten dalam pemberian hukuman terkait kejahatan narkoba, karena tidak jelasnya aturan.
"Tidak ada panduan pidana resmi untuk memandu hakim pengadilan menjatuhkan hukuman, sementara jaksa memiliki panduan ini," kata Dio kepada Tasha Wibawa.
Ranae pada awalnya ditahan di LP Kerobokan, Bali, tetapi kemudian dipindahkan ke dua LP yang berbeda.
Terakhir ia masuk penjara Bangli di Bali Tenggara.
Saat ia mulai masuk bui, keadaan LP sedang kewalahan dengan terlalu banyaknya jumlah napi di dalamnya.
Ada sekitar 250.000 orang di tahanan di seluruh Indonesia, naik dari 160.000 di tahun 2013, sementara kapasitas total tahanan hanya dapat menampung setengahnya.
Hampir 60 persen tahanan memiliki kasus kejahatan terkait narkoba, menurut karena pelanggaran terkait narkoba, menurut Sistem Database Permasyarakatan.
Sejumlah media melaporkan pemerintah Indonesia dari hasil pajak warganya, mengeluarkan sekitar Rp 15.000 per hari untuk makanan satu orang tahanan, yang terdiri dari nasi dan sayuran untuk sarapan, makan siang dan makan malam, dengan sesekali ikan asin, tempe dan telur rebus.
Meski jumlahnya terkesan sedikit, uang yang telah dikeluarkan pemerintah Indonesia untuk Renae selama di dalam penjara 13 tahun mencapai Rp 70 juta.
Kejahatan narkoba dianggap masalah moral
Dio menjelaskan hukuman keras bagi pelaku tindak kejahatan terkait di Indonesia disebabkan oleh pandangan bahwa narkoba adalah "masalah moral."
Obat-obatan terlarang telah dianggap sebagai perusak "moral bangsa dan mengancam generasi muda".
"Karenanya, tampak menjadi pembenaran untuk memberikan hukuman berat sebagai solusi bagi pengedar dan kriminalisasi penggunannya," jelas Dio.
Menurutnya hukuman mati, seperti yang diberikan kepada Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dua orang yang dianggap pentolan utama kelompok Bali Nine, diannggap sebagai solusi yang efketif untuk mencegah warga asing membawa masuk narkoba ke Indonesia.
"Sepintas berkesan jika kita memecahkan masalah, tapi pada kenyataannya tidaklah bisa dibuktikan apakah ini berdasarkan bukti ilmiah atau tidak," tegasnya.
Lawrence adalah satu-satunya anggota Bali Nine yang dibebaskan dari penjara, sementara lima orang lainnya masih menjalani hukuman dan mereka mengatakan tidak memenuhi persyaratan untuk mengajukan remisi.
Anggota Bali Nine lainnya, Michael Czugaj dan Matthew Norman, yang saat ditangkap masih berusia 18 tahun, kedapatan memiliki heroin dengan jumlah lebih sedikit dibandingkan Ranae, tetapi mereka mendapat hukuman penjara seumur hidup.
Tetapi BNN menolak anggapan yang menyebutkan Renae mendapatkan perlakukan yang berbeda.
"Keputusan pengadilan diambil setelah melihat peran dari tiap-tiap anggota Bali Nine dan hukuman dijatuhkan sesuai keputusannya."
Artikel ini diterjemahkan dari laporan aslinya dalam bahasa Inggris, bisa dibaca disini.