Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Menghidupkan Kembali Foto Hitam-Putih, Salah Satu Cara Tingkatkan Minat Sejarah di Indonesia

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan
Foto lama kakek Andiena Shanty yang diberi warna oleh Heru Iswanto. (Supplied)

Andiena Shanty terkejut ketika melihat ibunya menangis bahagia karena sebuah foto.

Foto tersebut merupakan potret mendiang kakeknya, Temoe Moeljopawiro yang menurut penjelasannya adalah seorang pejuang kemerdekaan di masanya.

Baca Juga:

Atas permintaan ibunya untuk memperbaiki foto lama tersebut, Andien menggunakan jasa pemilik akun @tukangpulas_asli yang ditemukannya di Instagram.

Dengan mengeluarkan biaya Rp250 ribu, foto yang aslinya berwarna hitam dan putih tersebut pun kini terlihat berwarna bagaikan foto baru.

"Itu sesuatu yang bikin ibu saya bahagia, seolah-olah itu baru foto kemarin," ujarnya.

Baca Juga:

"Sampai ibu saya pengen ketemu dan berterima kasih kepada yang mewarnai fotonya."

"Kebahagiaan ibu saya itu tidak bisa dibeli," kata Andien, warga asal Semarang yang tinggal di Solo.

Heru Iswanto adalah sosok di balik akun @tukangpulas_asli dengan belasan ribu orang pengikut di Instagram.

Selama enam tahun terakhir, Heru yang bermata pencaharian utama sebagai polisi menekuni hobinya di bidang "photo-coloring".

Ilmu tersebut dipelajarinya lewat menonton video para seniman pemberi warna foto di luar negeri.

Kemudian hasil karyanya ia bagikan di jejaring sosial, seperti Instagram dan Twitter, tanpa mengira akun-nya akan dibanjiri pengikut.

Diminati keluarga Pahlawan Revolusi

Heru sempat menerima permintaan pihak keluarga salah satu pahlawan revolusi Indonesia, Jenderal TNI Ahmad Yani, untuk mewarnai foto tokoh tersebut.

Irawan Sura Eddy adalah putera Jenderal Ahmad Yani yang menggunakan jasa Heru.

Di samping karena masih ingat warna kebaya dan selendang sang ibu kenakan dalam foto yang tadinya hitam-putih tersebut, Eddy punya alasan tersendiri mengeluarkan uang untuk foto tersebut diwarnai.

"Saya ingin foto bapak dan ibu itu lebih hidup dan kesannya seperti baru kemarin pengambilannya," kata Eddy.

Puteri Jenderal Ahmad Yani lainnya, Amelia Yani, kepada wartawan ABC Indonesia Natasya Salim mengatakan bahwa di dalam foto tersebut, wajah kedua orangtuanya terlihat "lebih cantik dan bersih".

Walau demikian, ia memiliki ingatan berbeda tentang warna kebaya yang ibunya, Yayu Rulia Sutowiryo kenakan dalam foto tersebut.

"Saya bilang fotonya bagus sekali, cuma warna kebaya ibu saya itu kayaknya biru muda," katanya.

Meski mengapresiasi pewarnaan foto tersebut, Amelia mengaku masih lebih mengenali kedua orangtuanya lewat foto asli yang berwarna hitam-putih.

"Foto asli yang hitam-putih itu hidup. Itulah bapak, itulah ibu, meskipun hitam-putih," katanya.

"Karakternya kelihatan, dagu, tulang pipi, dan sebagainya lebih kelihatan.

"Kalau sudah diwarnai, jadi halus sekali. Hilang garis-garis kerut itu. Kan rapi ya, bersih. Itu bagus, cuma terserah yang bikin sih kalau saya."

Salah satu karya yang paling berkesan bagi Heru adalah potret suasana Jalan Malioboro di Yogyakarta pada tahun 1948.

"Karya saya mulai banyak dikenal gara-gara [foto] itu, yang membuat [akun saya] mulai ramai peminat dan pengikutnya," ujar Heru yang berasal dari Bekasi.

Ia menghabiskan waktu tiga hari untuk satu foto tersebut, dari yang biasanya hanya 30 menit karena banyaknya jumlah obyek di dalamnya.

Heru mengaku jika ia paling suka memberikan warna pada foto-foto tentara Belanda, di samping potret yang dianggapnya "ikonik" seperti papan penunjuk jalan atau gedung di masa lampau.

"Karena buat saya mereka [tentara] itu tidak mungkin ada dua kali di Indonesia," kata Heru.

Komunitas penggemar 'photo-coloring'

Meski terkesan sederhana, Heru tidak sembarangan memilih dan memakai warna dalam foto hitam-putihnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ia harus dengan teliti melakukan riset warna obyek dengan menonton film lama atau pun melakukan konsultasi dengan teman yang memiliki hobi serupa.

Sekitar delapan bulan yang lalu, Heru membentuk sebuah komunitas bernama Indonesia Colorising Association beranggotakan lebih dari 20 orang yang bisa diajak berdiskusi.

Para anggota komunitas yang berasal dari Jawa dan Sumatra melakukan komunikasi online secara rutin.

Salah satu anggota kelompok tersebut adalah Ramdan Ristian yang merupakan penggemar sejarah asal Bandung.

Ramdan mengatakan para anggota dalam komunitas tersebut sering berbagi ilmu pewarnaan foto dan pedoman mewarnai obyek.

Ia berharap kegiatan "photo-coloring" yang didukung dengan keberadaan komunitas ini dapat membangkitkan minat orang untuk mempelajari sejarah.

"Kami banyak sharing dan pernah juga open space di Twitter dengan audiens yang lumayan banyak," ujar Ramdan yang suka mewarnai foto masa Perang Dunia I dan II di Indonesia.

'Bikin sejarah semakin hidup' namun harus tetap beretika

Sejarawan dan pemimpin redaksi majalah sejarah Historia, Bonnie Triyana mendukung kegiatan "photo-coloring" yang dilakukan Heru dan Ramdan ini.

"Saya senang, karena itu bikin sejarah semakin hidup dan anak muda semakin tertarik sama sejarah," kata Bonnie.

"Kan sejarah kesannya enggak kuno, tetapi menjadi lebih powerful, berwarna, dari pada cuma hitam-putih juga."

Tapi proses pengeditan foto hitam putih sempat menjadi kontroversi tahun lalu.

Seorang seniman asal Irlandia, Matt Loughrey mewarnai dan menambahkan senyum di wajah seorang narapidana di Phnom Penh, Kamboja yang diambil sekitar tahun 1975-79.

Foto narapidana yang sempat disiksa di penjara tersebut dipublikasi oleh media Vice dan menuai amarah di akun Twitter.

Pakar pun memperingatkan agar pengeditan foto tidak dilakukan semena-mena, apalagi dengan munculnya teknologi kecerdasan buatan (AI).

Sejauh ini, menurut pengamatan Bonnie, akun @tukangpulas_asli serta akun lainnya yang sering muncul di media sosial tidak melakukan perwarnaan foto dengan sembarangan.

"[Mewarnai foto] tidak masalah selama warnanya tepat dan sesuai," katanya.

"Selama fotonya diwarnai sesuai dengan warna sesungguhnya, artinya tidak mengubah autentisitas dari foto itu."

Menurut Bonnie, peran pemberi warna foto hitam-putih ini termasuk ke dalam domain sejarah publik, yang artinya sama seperti museum, galeri, dan tempat bersejarah lainnya.

Kategori ini berbeda dengan sejarah sebagai mata pelajaran di mana pembicaraan dan diskusi tentang sejarah dibahas secara akademis.

Di tengah bertambahnya minat mempelajari sejarah di tengah anak muda, Bonnie mengatakan penting bagi institusi sejarah publik untuk menumbuhkan ketertarikan lebih jauh.

"Di dalam sejarah publik, bila dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu, sekarang jauh lebih bagus," katanya.

"Sekarang mampu enggak museum meningkatkan kualitasnya di Indonesia, profesionalisme, kreativitas supaya semakin menumbuhkan minat dan memberikan edukasi publik di bidang kesejarahan dengan lebih baik." 

Heru, pemilik akun @tukangpulas_asli, mengaku ilmu sejarahnya terus bertambah setelah memberikan warna pada foto hitam-putih.

Ia berharap pekerjaannya berdampak bagi penikmat karyanya.

"Harapan saya supaya netizen atau teman-teman itu lebih menyukai sejarah, mencintai sejarah," katanya.

"Walau saya bukan ahli sejarah, karena saya memang tidak ada 'basic' [atau dasar] ilmu apa-apa tentang keilmuan sejarah, [tapi] saya tujuannya lebih mendekatkan para teman-teman atau pengikut dengan sejarah."

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada