Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

'Jadi Siapa yang Bertanggung Jawab?': Orangtua Korban Gagal Ginjal Akut Layangkan Gugatan 'Class Action'

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan
Agustina Maulani berharap semoga para orangtua mendapat keadilan. (Supplied)

Pertanyaan Agustina Maulani akhirnya terjawab. 

Sebelumnya, ia masih sulit tidur karena memikirkan penyebab gagal ginjal akut yang membuatnya kehilangan Azea, putri semata wayangnya yang berusia 17 bulan. 

Baca Juga:

Lima hari sebelum ABC Indonesia mewawancarai Agustina pada 28 Oktober lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan rilis tujuh obat yang aman digunakan, sepanjang sesuai aturan pakai. 

Rilis ini dikeluarkan BPOM pada 23 Oktober, setelah melakukan uji sampel menyusul larangan penjualan semua jenis obat sirop karena diduga tercemar etilen glikol yang menyebabkan gagal ginjal akut. 

Obat yang diminum Azea, parasetamol jenis tetes (drops) dan sirop produksi Afi Farma, ada di dalam daftar obat yang dianggap aman itu. 

Baca Juga:

Tak heran jika saat itu, Agustina masih tak mengerti mengapa putrinya bisa mengalami gagal ginjal, jika obat yang diminumnya masuk kategori aman. 

Namun hanya seminggu berselang, kesimpulan BPOM berubah. 

"Jadi ada satu produsen ketiga yang diduga ada unsur pidana. Berdasarkan pengujiannya kandungan dari produk dan bahan baku sudah menunjukkan kandungan EG dan DEG melebihi ambang batas ... kami menemukan produk obat sirup Paracetamol Drops dan Paracetamol Syrup rasa peppermint produksi PT Afi Farma," kata Kepala BPOM, Penny Lukito dalam jumpa pers yang digelar bersama Bareskrim Polri pada 31 Oktober. 

"Benar dugaan saya, kondisi Zea drop banget sehabis minum parasetamol drop dan sirup ... sepekan yang lalu dibilang obat itu aman, sedangkan sekarang beda lagi," kata Agustina kepada ABC Indonesia.

"Kalau anakku enggak aku bawa ke puskemas dan dapat obat itu, pasti enggak bakal [terjadi] seperti ini ya," tambahnya. 

Parasetamol drop dan sirop yang diberikan Agustina diperolehnya dari puskemas, tempat ia memeriksakan Zea yang saat itu mengalami demam. 

Penyesalan yang sama juga dirasakan Safitri Puspa, yang kehilangan putranya, Panghegar Bhumi, yang berusia delapan tahun.

Awalnya, ia teryakinkan oleh vonis bahwa penyakit yang diidap putranya adalah kemungkinan besar disebabkan oleh virus. 

"Tapi mengetahui [anak saya sakit karena] keracunan obat itu lebih menyakitkan," ujar Safitri.

Menurut Safitri, produk Afi Farma telah menjadi benang merah yang sangat jelas di antara para orangtua, setelah mereka membandingkan daftar obat-obatan yang diminum anak-anaknya.

"Kami semua pakai [obat buatan] Afi Farma, kami semua, 99 persen, mendapatkannya dari fasilitas kesehatan, yaitu kami pergi ke rumah sakit, atau klinik pratama, atau puskesmas."

"Kami sudah mengikuti prosedur dengan benar, kami enggak pilih-pilih sendiri lalu beli sendiri, kami enggak coba-coba untuk anak kami ... kami bawa ke dokter dan itu obat yang diresepkan."

"Pertanyaannya, saat BPOM dulu menyatakan [produk Afi Farma] aman, itu sebenarnya sudah diperiksa atau belum? Kami sudah tenang karena katanya aman... kok ini kayak main-main," ujar Safitri. 

'Jadi siapa yang bertanggung jawab?'

Bersama dengan 11 orangtua lainnya, Safitri kemudian memberi kuasa kepada tim kuasa hukum, salah satunya Awan Puryadi, untuk melayangkan gugatan 'class action'.

Awan mengatakan, gugatan ini lahir setelah diskusi intensif dengan orangtua dari setidaknya 40 anak yang sakit dan meninggal dunia karena gagal ginjal akibat sirop yang tercemar.

Namun ia mengatakan, jumlahnya diperkirakan akan terus bertambah karena banyak orangtua, khususnya dari luar pulau Jawa, yang baru mulai bergabung.

Gugatan dengan nomor perkara 117 PDTG PN Jakpus 2022 yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini menyeret nama para distributor, perusahaan farmasi, hingga regulator.

Ada sembilan tergugat, yakni PT Afi Farma, PT Universal Pharmaceutical Industries (UPI), PT Tirta Buana, PT Logicom Solution, PT Mega Setia Agung, CV Mega Integra, CV Budiarta, BPOM, dan Kementerian Kesehatan

Isi petitum yang didaftarkan di PN Jakarta Pusat adalah permintaan ganti rugi dari para penggugat, yakni senilai Rp 2,05 miliar per orang meninggal dan Rp 1,03 miliar per orang sakit.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ganti rugi diminta karena para tergugat dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Selain itu, para penggugat juga meminta perusahaan farmasi dan distributor disita hartanya sebagai pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum.

Kuasa hukum para penggugat, Awan Puryadi, juga mempertanyakan klaim BPOM dan Kemenkes yang mengatakan tidak ada protokol atau standar internasional EG dan DEG saat kasus sedang tinggi.

Tapi ia mengatakan, berdasarkan fakta hukum kasus keracunan EG dan DEG sudah ada sejak 1930, tahun 1990 dan 2006, harusnya pemerintah punya rujukan bagi kasus yang melibatkan sirop obat yang menggunakan propilen glikol dan gliserin.

"Guidance dari FDA adalah menguji kadar EG dan DEG ... mengapa ini tidak segera dilakukan saat itu?" ujarnya.

"Ini bukan kasus pertama, sudah pernah terjadi di dunia sebelumnya, logikanya pasti ada kajiannya di jurnal [ilmiah] ... dengan semua tenaga ahli dan alat terpusat di RSCM, masa iya enggak ada yang terpikir [ini kasus keracunan EG dan DEG]?" tambah Safitri, yang saat Panghegar mulai dirawat di RSCM pada 5 Oktober lalu, dokter mengatakan belum mengetahui penyebab sakit anaknya.

Safitri mengatakan, selain sebagai upaya meminta pertanggungjawaban atas kasus yang menimpa para anak, gugatan ini juga semacam 'alarm' bagi BPOM untuk memperbaiki mekanisme pengawasan dan pemeriksaannya supaya kejadian yang sama tidak terulang.

"Huruf P pada BPOM itu fungsinya apa? Kalau mereka badan pengawas, tapi merasa 'itu bukan kerjaan kami, itu [jadi] quality control perusahaan masing-masing', aneh enggak? Terus buat apa dong ada BPOM?"

"Jadi sekarang saya tanya, siapa yang bertanggung jawab? Ini mau dihilangkan saja 300 korbannya?"

"Melihat dari kasus ini, apa jaminannya kalau semua obat yang beredar itu aman?"

Hingga Jumat (25/11) jumlah kasus gagal ginjal akut adalah 324 orang, 200 di antaranya meninggal dunia.

Tanggapan Kemenkes dan BPOM

Sebagai salah satu tergugat dalam 'class action', Kemenkes lewat juru bicaranya, dr Siti Nadia Tarmizi, mengatakan akan mempelajari gugatan tersebut terlebih dahulu. 

"Kami, pertama, tentunya berbela sungkawa terhadap para orangtua yang sudah kehilangan putra-putrinya." 

"Yang kedua, kami akan menunggu secara resmi terkait gugatan ini, dan kami akan pelajari terlebih dahulu mengenai hal-hal ini, dan nanti kita akan pelajari terlebih dahulu baru tentunya setelah itu kita bisa merespon gugatan ini."

Sementara itu, gugatan dari para orangtua ini merupakan gugatan 'class action' kedua yang ditujukan ke BPOM.

Sebelumnya, Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) mengajukan 'class action' ke Pengadilan Tata Usaha Negara karena beberapa tindakan BPOM dianggap sebagai "pembohongan publik", sehingga cukup beralasan digugat dengan pasal perbuatan melawan hukum penguasa.

Ketua Komunitas Konsumen Indonesia, David Tobing, mengatakan salah satunya adalah karena dugaan tidak menguji sirop obat sehingga terjadi informasi yang berubah di masyarakat.

Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan gugatan KKI "salah sekali" dan mengatakan BPOM akan didampingi Kejagung dalam menghadapi gugatan tersebut.

ABC Indonesia sudah berusaha menghubungi BPOM untuk menanggapi gugatan dari para orangtua dan hingga berita ini diturunkan belum mendapat tanggapan.

Namun, Penny yang hadir dalam sebuah wawancara podcast bersama Deddy Corbuzier yang tayang di YouTube, Kamis kemarin (24/11) mengatakan ada banyak rekomendasi yang telah diterima BPOM.

"Usulan rekomendasi dari kejadian ini kan banyak sekali, termasuk apa yang harus kita perbaiki sehingga sistem jaminan keamanan mutu untuk obat itu semakin diperkuat," ujarnya.

"Jadi ada blessing in disguise, ada hikmah yang harus kita ambil, termasuk Badan POM sebagai institusi regulator obat itu harus diperkuat," tambahnya.

Tetapi Awan mengatakan, "tidak ada blessing dalam hal peristiwa yang mengakibatkan kematian walaupun itu in disguise sekali pun.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada