Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Perppu Cipta Kerja, Pendorong Digelarnya Aksi Protes Rakyat Indonesia Hari Ini

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan
Dokumentasi unjuk rasa buruh di gedung DPR (02/10/2019). (Foto: KOMPAS/ Cynthia Lova)

Hari ini (28/02), ribuan orang dari berbagai elemen masyarakat turun ke jalan untuk mengikuti aksi Protes Rakyat Indonesia.

Aksi nasional ini berpusat di depan gedung DPR RI Senayan, Jakarta.

Baca Juga:

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko, mengatakan sebanyak lebih dari 3.500 personal gabungan dikerahkan untuk mengamankan aksi unjuk rasa.

Namun, selain berimbas pada rekayasa lalu lintas yang kemungkinan besar berujung pada kemacetan, kami mencoba mengupas secara mendalam apa yang diprotes rakyat melalui aksi ini.

Pada dasarnya, aksi ini merupakan protes terhadap Perppu Cipta Kerja.

Apa itu Perppu Cipta Kerja?

Baca Juga:

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja ini diterbitkan pemerintah pada 30 Desember 2022.

"Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global, baik yang terkait dengan ekonomi [di mana] kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, ... dan pemerintah menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim," kata Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan alasan penerbitan Perppu Cipta Kerja.

Sebelumnya, UU Cipta Kerja telah dinyatakan "Inkonstitusional Bersyarat" oleh Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021.

Dalam putusan yang tertuang dalam Putusan No.91/PUU-XVIII/2020 itu, MK memerintahkan pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan dijatuhkan.

Apabila dalam tenggang waktu tersebut perbaikan tidak dilakukan, UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.

Selain itu, MK juga memerintahkan pemerintah untuk "menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang bertentangan dengan UU No.11/2020."

Dengan demikian, menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), penerbitan Perppu Cipta Kerja ini merupakan "bentuk pembangkangan terhadap Konstitusi Indonesia."

Bagaimana dengan isinya?

Menurut beberapa elemen masyarakat, bukan hanya penerbitannya yang bermasalah karena membangkang konstitusi, isinya pun problematik.

Partai Buruh, misalnya, mencatat beberapa masalah dalam Perppu Cipta Kerja, salah satunya mengenai 'outsourcing' atau alih daya, di mana perusahaan bisa memilih untuk memperkerjakan orang-orang di luar perusahaannya sehingga nasib pekerjanya sendiri menjadi tak menentu.

Pada prinsipnya, menurut Perppu, alih daya diperbolehkan.

"[Outsourcing] akan diatur dalam peraturan pemerintah, mana yang boleh dan yang tidak. Ini makin tidak jelas, karena semakin menegaskan semua pekerjaan bisa di-outsourcing," tutur Ketua Partai Buruh, Iqbal Said.

"Ukurannya apa jika diserahkan kepada peraturan pemerintah? Bisa seenak-enaknya dong?"

Selain itu, kebijakan terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, baik di UU Cipta Kerja mau pun di Perppu, juga tidak dibatasi.

Dengan demikian, pekerja bisa berstatus kontrak untuk selamanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) juga berbagi keberatan yang senada, namun menggarisbawahi penetapan upah minimum dan menolak formula kenaikan upah pada pasal 88D Perppu Cipta Kerja.

"Harus jelas indikasi [yang dipakai] itu apa. 'Keadaan tertentu' ini kan bias. Apakah bencana alam? Kemunduran ekonomi? Atau apa keadaan tertentu? Ini yang bias," ujar Andi Gani Nena Wea, Presiden KSPSI.

Selain buruh, siapa lagi yang menolak?

Penerbitan Perppu bukan saja ditolak oleh kalangan buruh, tapi juga oleh sejumlah aktivis lingkungan hidup, pakar hukum, bahkan mantan pejabat negara.

Mantan Ketua Mahkamah Konsititusi, Profesor Jimly Asshiddiqie, mengatakan "Perppu ini melanggar prinsip negara hukum yang dicari-carikan alasan pembenarannya oleh sarjana tukang stempel."

"Peran MK dan DPR diabaikan ... ini bukan contoh rule of law yang baik, tapi contoh rule by law yang kasar dan sombong." 

Selain itu, sejumlah elemen mahasiswa di berbagai daerah juga ikut menolak Perppu Cipta Kerja.

Ratusan mahasiswa di Sumatera Utara beberapa waktu yang lalu mengepung gedung DPRD Sumatera Utara dan menduduki ruang sidang paripurna.

Mereka menilai penerbitan Perppu Cipta Kerja tidak memihak rakyat kecil dan meminta DPRD sebagai perwakilan rakyat mendukung mereka dalam menolak Perppu ini.

Azka Hanifah, adalah salah satu mahasiswa Universitas Brawijaya di Malang yang menyampaikan kekhawatirannya.

Seperti yang dilansir IDN Times, Azka yang mengaku telah mengkaji pasal 162 Perppu Cipta Kerja mengatakan pasal tersebut berpotensi mengkriminalisasi masyarakat penolak tambang.

"Jadi ketika misalnya kita mengkritik pembangunan tambang lalu menolaknya karena berdampak buruk bagi warga sekitar, kita berpotensi dipindana. Menurut saya ini enggak bener."

Menurutnya, jika Perppu ini disahkan oleh DPR RI, akan banyak penolak tambang di Indonesia yang bisa dikriminalisasi.

Bagaimana sikap DPR?

Komentar Azka dan pilihan mahasiswa Sumatera Utara, mengingatkan kita pada satu elemen yang belum disinggung: Dewan Perwakilan Rayat.

Meski penerbitan Perppu Cipta Kerja dinilai Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) sebagai sebuah "praktik ugal-ugalan dan pengabaian pemerintah terhadap partisipasi publik yang bermakna", Badan Legislasi DPR menyepakati Perppu Cipta Kerja untuk menjadi Undang-Undang pada 15 Februari lalu.

Dalam rapat pleno Banggar DPR, tujuh fraksi menyatakan persetujuannya, sementara dua fraksi lainnya, yakni Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, menolak.

Keduanya berpendapat penyusunan dan penerbitan Perppu tidak aspiratif sehingga tidak melindungi kepentingan rakyat. Sebaliknya, malah melindungi elit.

Namun, meski Baleg DPR telah sepakat membawa Perppu Cipta Kerja ke sidang paripurna untuk disahkan, hingga berakhirnya masa sidang DPR, hal ini belum terlaksana.

Koalisi masyarakat sipil sendiri menilai jika ini terjadi, maka "pengesahan Perppu Cipta Kerja oleh DPR merupakan persekongkolan jahat oligarki dan pengkhianatan kepada rakyat dan konstitusi."

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada