Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Papua: Isu 'politisasi' dan 'kriminalisasi' penetapan tersangka Gubernur Lukas Enembe oleh KPK, ketidakpercayaan publik atau sentimen identitas?

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan

Para pendukung Lukas Enembe mengeklaim penetapan tersangka gubernur Papua dalam kasus korupsi sebagai 'kriminalisasi' dan 'politisasi ' - tudingan yang langsung ditepis oleh Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) dan Menkopulhukam Mahfud MD.

Ratusan pendukung Gubernur Papua Lukas Enembe melakukan aksi demonstrasi 'Save Gubernur Papua' di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, pada Kamis (22/09). Sebelumnya, gelombang demonstrasi serupa yang diklaim diikuti ribuan pengunjuk rasa digelar di Jayapupa, Papua.

Baca Juga:

Kendati bukan kali pertama demonstrasi mendukung kepala daerah yang terjerat kasus korupsi terjadi di Indonesia, mobilisasi pendukung Lukas Enembe mengindikasikan "kepercayaan publik terhadap KPK kian menurun", menurut pegiat anti-korupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo.

"Ini jadi lebih riuh karena beberapa elit di Jakarta turut campur dalam upaya hukum ini sehingga reaksi dari Papua begitu hebat. Semestinya ini bisa diredam di awal dengan proses hukum yang jauh lebih proper (tepat), prudent (hati-hati) dan cukup satu pintu," ujar Adnan Topan Husodo kepada BBC News Indonesia, Kamis (22/09).

Baca juga:

Baca Juga:

Sementara peneliti isu Papua dari Badan Riset dan inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas, memandang penetapan Lukas Enembe sebagai tersangka kasus korupsi, berpotensi membangkitkan sentimen identitas dan membuat situasi di Papua kian bergejolak.

"Pengenaan status tersangka ini menimbulkan sentimen tentang identitas Papua dan ada konteks politik, ada konflik antara Jakarta dan Papua yang belum selesai sehingga isu pengenaan status tersangka ini menjadi salah satu alat untuk memobilisasi identitas ke-Papua-an, sekaligus sebagai bentuk ekspresi atau protes dari rakyat Papua terhadap pemerintah pusat," ujarnya.

Gubernur Papua Lukas Enembe ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 5 September lalu atas dugaan gratifikasi senilai Rp1 miliar. Sepekan setelah dia ditetapkan sebagai tersangka, gelombang demonstrasi 'Save Gubernur Papua' terjadi di Papua, dan kini di Jakarta.

Bawa senjata tajam, demonstran diamankan

Sebanyak 14 pengunjuk rasa diamankan oleh aparat polisi karena kedapatan membawa senjata tajam ketika hendak bergabung dengan pengunjuk rasa lain dalam demonstrasi di Jayapura, Selasa (20/09).

Dari 14 orang tersebut, polisi mengamankan badik, pisau lipat, pisau dapur, parnag, kapang, busur, dan panah, hingga bom ikan dan ketapel, ujar Wakapolda Papua Brigjen Ramdani Hidayat dalam konferensi pers di Jayapura, Rabu (21/09).

Dalam demonstrasi yang diikuti ribuan massa, polisi melakukan penyekatan karena menemukan adanya indikasi oknum-oknum yang ingin mengacaukan situasi.

Dalam demonstrasi, para pendukung Lukas Enembe menuntut agar KPK menghentikan kasus dugaan korupsi yang menjeratnya. Mereka pula mengeklaim, penetapan tersangka itu sebagai "kriminalisasi" dan "politisasi".

Kuasa hukum Lukas Enembe, Stefanus Roy Rening, beralasan bahwa gratifikasi sebesar Rp1 miliar yang disangkakan pada kliennya adalah dana pribadi sang gubernur dan bukan berasal dari dana proyek APBD Papua periode 2013 - 2022 seperti yang dituduhkan KPK.

"Kalau faktanya seperti itu, maka dapat disimpulkan adanya kriminalisasi dan pembunuhan karakter terhadap Gubernur Lukas Enemba, oleh karena penyidikan tidak sesuai dengan hukum pidana formil maupun materiilnya," ujar Roy dalam pernyataan tertulis kepada BBC News Indonesia.

Menurutnya, kriminalisasi adalah jika seseorang dituduh melakukan tindak pidana, namun tidak sesuai dengan prosedur hukum acara yang berlaku, serta perbuatan pidananya belum ditemukan secara nyata.

"Kriminalisasi dipakai untuk melakukan pembunuhan karakter seseorang dengan tujuan dan kepentingan tertentu," katanya.

Akan tetapi, juru bicara KPK Ali Fikri membantah adanya kriminalisasi dalam kasus Lukas Enembe.

Dia menegaskan, "proses penyidikan yang KPK lakukan ini telah sesuai prosedur dan ketentuan hukum".

"Sebagai pemahaman bersama, membangun narasi diruang publik tidak dapat dijadikan dasar pembuktian suatu perkara pidana," tegasnya dalam pernyataan tertulis.

Dia melanjutkan, tim penyidik KPK telah melayangkan surat pemanggilan terhadap Lukas Enembe sebagai tersangka.

Pemeriksaan Lukas Enembe diagendakan pada Senin (26/09) di Gedung KPK, Jakarta.

"Kami berharap tersangka dan PH (penasehat hukum)-nya kooperatif hadir karena ini merupakan kesempatan untuk dapat menjelaskan langsung dihadapan tim penyidik KPK. "

Sebelumnya, dalam surat pemanggilan pertama pada 12 September silam, Lukas Enembe dipanggil sebagai saksi. Namun dia mengonfirmasi tidak dapat hadir.

'Tak ada rekayasa politik'

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menegaskan kembali bahwa "tak ada rekayasa politik dalam penetapan Lukas Enembe sebagai tersangka korupsi".

"Masalahnya bukan hanya 1 M (Rp1 miliar) yang akan terus dikembangkan dugaan korupsinya, melainkan ratusan M sesuai dengan temuan PPATK," kata Mahfud dalam unggahan di Twitter.

https://twitter.com/mohmahfudmd/status/1572248806875631617?s=20&t=15e3ChSnt2RVRaDf-u4_1A

Dalam konferensi pers pada Senin (19/09), Mahfud menjelaskan ada kasus-kasus dugaan korupsi yang melibatkan Lukas Enembe yang sedang didalami.

Antara lain, dana operasional pimpinan, dana pengelolaan Pekan Olarahraga Nasional (PON), serta dugaan pencucian uang.

"Kasus Lukas Enembe bukan rekayasasa politik, tidak ada kaitannya dengan parpol atau pejabat tertentu melainkan merupakan temuan dan fakta hukum."

"Dugaan korupsi yang dijatuhkan pada Lukas Enembe yang kemudian menjadi tersangka,bukan hanya terduga, bukan hanya gratifikasi Rp1 miliar.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menjelaskan pihaknya telah menyerahkan 12 hasil analisis transaksi mencurigakan yang dilakukan Lukas Enembe dalam periode lima tahun sejak 2017 hingga 2022.

"Salah satu hasil analisis terkait setoran tunai yang bersangkutan di kasino judi, senilai US$55 juta dólar atau Rp560 miliar. Itu setoran tunai dalam periode tertentu. Bahkan, ada dalam periode pendek setoran tunai dilakukan dalam nilai yang fantastis US$5 juta," jelas Ivan.

PPATK mengendus adanya aktivitas perjudian di duna negara yang berbeda.

Ivan menambahkan, pihaknya menemukan transaksi pembelian jam tangan senilai US$55 ribu, atau setara Rp550 juta rupiah.

Selain itu, PPATK juga telah melakukan pembekuan transaksi senilai Rp71 miliar di sejumlah penyedia jasa keuangan.

Sementara itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, menjelaskan berdasar undang-undang baru, KPK bisa menghentikan penyidikan dan menerbitkan SP3 jika dalam penyidikan Lukas Enembe bisa membuktikan sumber uang yang ia miliki.

"Misalnya punya tambang emas, ya sudah, pasti nanti kami hentikan. Tapi mohon itu diklarifikasi, penuhi undangn KPK untuk diperiksa," cetusnya.

Mobilisasi untuk hambat penegakkan hukum?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mobilisasi pendukung kepala daerah yang terjerat korupsi bukan kali ini saja terjadi.

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo, mengatakan bahwa sebelumnya, kasus serupa terjadi di sejumlah daerah di Indonesia.

"Kalau melihat dalam sejarahnya, banyak kepala daerah yang mengerahkan masa pendukung untuk menghambat upaya penegak hukum," ujar Adnan.

Pada 2007, massa pendukung Syaukani, Bupati Kutai Kartanegara di Kalimantan Tengah, bentrok dengan wartawan di kantor KPK ketika massa berupaya menghalangi wartawan yang hendak mengambil gambar Syaukani sebelum digiring penyidik KPK menuju rumah tahanan.

Baca juga:

Pada 2012, saat hendak menjemput paksa Amran Batalipu - yang kala itu menjabat sebagai Bupati Buol di Sulawesi Tengah - di rumahnya, tim penyidik KPK dihadang oleh massa pendukung Amran yang mendirikan tenda dan meletakan senjata tajam di depan rumahnya.

Amran sebelumnya berhasil lolos dari operasi tangkap tangan KPK karena ada upaya penghadangan yang dilakukan massa pendukungnya.

Terbaru, pada Juli silam, kelompok yang mengatasnamakan diri sebagai Forum Anti Kriminalisasi Pejabat Papua mengeklaim KPK telah membangun kebohongan publik terhadap pemberitaan atau informasi tentang gratifikasi yang ditudingkan pada Bupati Memberamo Tengah, Ricky Ham Pagawak.

Namun, menurut pegiat anti-korupsi tersebut, apa yang terjadi di Papua "menjadi lebih rumit" karena selama ini, Papua merupakan "wilayah hotspot (titik panas)" dalam hal politik, sosial dan ekonomi.

"Sehingga ketika ada isu besar semacam ini di-trigger, kemudian muncul berbagai macam reaksi, baik elit lokal dan masyarakat," ujar Adnan.

"Sehingga mudah saja itu dimanfaatkan oleh segelintir elit untuk mempertahankan posisinya dengan mengangkat sentimen-sentimen itu," imbuhnya.

Akan tetapi, lebih jauh Adnan menjelaskan bahwa mobilisasi pendukung Lukas Enembe dalam gelombang demonstrasi baru-baru ini, mengindikasikan bahwa ketidakpercayaan publik terhadap KPK mengalami penurunan yang berkelanjutan.

"Artinya Ketika KPK bekerja di ruang yang lebih keruh, karena persepsi public yang negative terhadap KPK, maka apa yang dilakukan KPK bisa memicu berbagai spekulasi, termasuk isu yang berhubungan tentang kriminalisasi dan ketidakpercayaan terhadap KPK atas kerja-kerja penegakkan hukummnya," kata dia.

Kontradiktif dengan upaya pemberantasan korupsi

Diakui oleh Adnan, demonstrasi mendukung kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi, memang kontradiktif dengan upaya pemberantasan korupsi.

Namun itu membuktikan bahwa kendati korupsi adalah masalah struktural di Indonesia, namun pemberantasan korupsi menjadi lebih sullit karena kondisi sosial masyarakatnya masih memandang tokoh berdasar benefit sosial dan ekonomi yang telah diberikan tokoh itu terhadap masyarakat.

"Mereka akan tetap dipandang sebagai orang yang harus dihomati. Apapun tindakan mereka, sejauh apapun mereka melanggar hukum, termasuk melakukan korupsi," katanya.

Hal yang sama terjadi di balik fenomena gelombang demonstrasi 'Save Gubernur Papua, menurut Profesor riset di Pusat Penelitian Kewilayahan di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas, yang telah lama meneliti isu Papua.

Lukas Enembe Reuters
"Saya melihatnya ini fenomena Lukas Enembe tak hanya dianggap sebagai gubernur Papua, tapi juga menjadi orang yang secara adat diakui dan dihormati secara budaya," ujar peneliti BRIN Cahyo Pamungkas

"Saya melihatnya ini fenomena Lukas Enembe tak hanya dianggap sebagai gubernur Papua, tapi juga menjadi orang yang secara adat diakui dan dihormati secara budaya," jelas Cahyo.

Imbasnya, lanjut Cahyo, penetapan tersangka ini menimbulkan sentiment tentang identitas Papua. Selain itu, ada persoalan politik yang belum tuntas di Papua.

"Ada konflik antara Jakarta dan Papua yang belum selesai sehingga isu pengenaan status tersangka ini menjadi salah satu alat untuk memobilisasi identitas ke-Papua-an, sekaligus sebagai bentuk ekspresi atau protes dari rakyat Papua terhadap pemerintah pusat.

Ia khawatir, jika tidak ditangani dengan baik, gelombang demonstrasi ini berpotensi membuat situasi politik dan sosial di Papua kian bergejolak.

"Gejolak] itu bisa terjadi kalau pemerintah melakukan penegakkan hukum yang formalistik, kemudian ingin menangkap beliau secara paksa. Maka dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak, akan ada resistensi dari pendukung Pak Enembe," ujar Cahyo.

Belum lama ini, pemekaran wilayah dan revisi undang-undang otonomi khusus yang tidak melibatkan gubernur dan Majelis Rakyat Papua, sempat membuat situasi politik di Papua menegang.

Belum lagi, konflik berkepanjangan antara militer Indonesia dan kelompok pro-kemerdekaan, masih terus terjadi.

Baca juga:

Warga Kabupaten Jayapura, Herlan Ongge, menggagap KPK dan PPATK sudah menjalankan tugas mereka dalam rangka penanganan korupsi.

Penetapan Lukas Enembe sebagai tersangka kasus korupsi, menurutnya, karena KPK sudah memiliki alat bukti.

"Mereka tidak serta merta langsung menetapkan sebagai tersangka, tentunya pasti punya alat bukti yang meyakinkan mereka menetapkan sebagai tersangka."

Dia memandang aksi demonstrasi dan penjagaan rumah Lukas Enembe di Jayapura, justru akan "membebani" sang gurbernur di kemudian hari.

Namun, warga Kota Jayapura, Nataniel Maninemwarba, mengaku kesal dengan penetapan tersangka gubernurnya. Sebab menurutnya, penetapan tersangka itu semestinya ada rekomendasi dari badan pemeriksa keuangan (BPK)."Tapi ini kan tidak ada surat rekomendasi dari BPK provinsi atau BPK RI, tapi tiba-tiba ditangkap. Dan yang membuat kesal masyarakat itu karena beliau lagi menjalankan tugas sebagai gubernur sebagai gurbernur, beliau juga ada dalam kondisi sakit. Ini yang jadi masalah," jelas Nataniel.

Ia mengaku mendukung Lukas Enembe, yang dia sebut sebagai "anak adat".

Senada, anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) dan tokoh perempuan Papua, Dorince Mehue, mengatakan penetapan Lukas Enembe dipandang sebagai "politisasi" dan "politisasi" karena bertepatan dengan tahun politik pada 2024 dan dinamika di tanah Papua.

"Sebenarnya mau bilang kriminalisasi juga terlalu berlebihan, saya katakan," ujarnya kemudian.

"Jadi saya pikir apapun yang sudah diproses, saya minta juga untuk dilewati. Toh kalau setelah pemeriksaan dinyatakan tidak terbukti, pasti juga akan dibebaskan."

Laporan tambahan oleh Alfonso Dimara

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada