Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Mafia perdagangan pekerja migran NTT: Mengungkap modus hingga jalur 'kejahatan mengerikan'

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan
'Roh kudus berbisik untuk kerja di Malaysia' - Modus, jaringan berlapis dan terputus, hingga jalur 'kejahatan mengerikan' mafia perdagangan pekerja migran nonprosedural NTT BBC

Praktik tindak pidana perdagangan orang (TPPO) pekerja migran Indonesia asal Nusa Tenggara Timur (NTT) ke Malaysia, disebut seorang penegak hukum, dilakukan oleh sindikat mafia yang "berlapis dan terputus" seperti kejahatan narkoba.

Dalam menjerat korbannya, kata pegiat anti-perdagangan orang, sindikat TPPO tidak hanya menggunakan iming-iming gaji besar, proses dokumen mudah, cepat dan gratis, tapi juga menggunakan "wajah agama" sebagai senjata ampuh untuk menipu masyarakat desa NTT yang mengultuskan agama sebagai jalan hidup atau kredo.

Baca Juga:

Salah satu korbannya adalah Meriance Kabu, penyintas yang mengaku direkrut dengan bujukan kelompok doa dari satu desa terpencil di Nusa Tenggara Timur (NTT). Akibat persuasi kelompok doa itu, dia bekerja sebagai pekerja rumah tanga (PRT) nonprosedural pada 2014 di Malaysia.

Selama delapan bulan bekerja di Malaysia, Meriance mengalami "siksaan hingga menyebabkan luka-luka" - berdasarkan dokumen pengadilan Indonesia dan kesaksian petugas KBRI Malaysia yang membesuknya di rumah sakit. Dokumen pengadilan itu merekam putusan terhadap dua perekrut tenaga kerja di NTT, yang dijebloskan ke penjara.

"Mengapa saudara saya sendiri, orang NTT, tega menipu dan bawa-bawa nama Tuhan? ... Sampai saya harus disiksa sekejam itu di Malaysia," kata Meriance.

Baca Juga:

Seorang terduga perekrut yang hingga kini buron, dikutip dari dokumen putusan pengadilan, berkata ke Meriance, "Kamu jangan takut, sebelum ke sini kami sudah berdoa… Nanti kamu akan mendapatkan bos yang baik di Malaysia… Jangan bawa apa-apa, semua bos yang urus dan bos yang tanggung."

Kesaksiannya tentang penyiksaan dan modus kejahatan TPPO yang dialami Meriance disebut dalam dokumen putusan Pengadilan Kupang hingga Mahkamah Agung, keterangan tetangga, dan pejabat KBRI yang membesuknya ketika di rumah sakit.

Belum dapat dipastikan jumlah korban dari sindikat mafia berkedok agama ini, namun pegiat mengatakan pelaku TPPO yang dipenjara umumnya hanyalah perekrut lapangan di tingkat desa, yang mereka sebut sebagai "ikan teri" atau "jari-jari".

Sedangkan, anggota sindikat "ikan kakap", kata Kepolisian Daerah NTT, masih banyak yang berkeliaran.

Meriance hanyalah satu dari segelintir pekerja migran Indonesia (PMI) nonprosedural asal NTT yang kembali dalam kondisi bernyawa. Sepanjang tahun 2014 hingga 2022, terdapat lebih dari 700 PMI asal NTT pulang dalam peti jenazah.

Sebagian besar dari mereka adalah pekerja gelap dan meninggal karena berbagai alasan.

Inilah cerita perjalanan Meriance yang terbujuk mafia TPPO berkedok agama, dan kesaksiannya mengenai jalur perdagangan manusia dari desa di NTT ke Malaysia.

'Perbudakaan dan penyiksaan selama delapan bulan dalam neraka'

Meriance Kabu tengah menenun di rumahnya, Kupang, NTT. BBC
Meriance Kabu tengah menenun di rumahnya, Kupang, NTT.

Meriance Kabu menghentikan sejenak gerak jemari tangannya yang merajut tenun saat tim BBC News Indonesia tiba di rumahnya di Kupang, NTT, Oktober 2022 lalu.

Bibirnya, yang kini memiliki bekas luka permanen, mengulum senyum. Setiap selesai menenun, kata Meriance, ia tak kuasa menahan air mata hingga jatuh di pipinya.

"Dengan itu ingatan, itu kesedihan, saya menangis. Tapi saya harus balas dengan kekuatan saya sendiri. Saya harus kuat," kata Meriance menceritakan penderitaan yang dia alami saat menjadi PRT di Malaysia tahun 2014 silam.

Usai menyuguhkan minuman kepada kami, ibu empat anak itu bercerita perlu bertahun-tahun bagi dirinya untuk berjuang mengobati trauma dera masa lalu yang dia sebut seperti "perbudakan dan penyiksaan selama delapan bulan dalam neraka".

"Sampai mati pun saya akan tetap tunggu itu keadilan... Saya mau ke Malaysia untuk mencari keadilan," katanya.

Baca juga:

Pengadilan Malaysia pada Oktober 2017 telah menyatakan tiga tuntutan terhadap Ong Su Ping Serene -penyiksaan, perdagangan manusia dan pelanggaran keimigrasian- sebagai DNAA (discharge not amounting to an acquittal) atau dilepaskan tanpa dibebaskan. BBC
Pengadilan Malaysia pada Oktober 2017 telah menyatakan tiga tuntutan terhadap Ong Su Ping Serene -penyiksaan, perdagangan manusia dan pelanggaran keimigrasian- sebagai DNAA (discharge not amounting to an acquittal) atau dilepaskan tanpa dibebaskan.

Terduga pelaku yaitu mantan majikannya Ong Su Ping Serene dilepaskan tanpa dibebaskan (DNAA - discharge not amounting to an acquittal) oleh pengadilan Malaysia pada Oktober 2017, dengan tiga dakwaan, yaitu penyiksaan, perdagangan manusia, dan pelanggaran keimigrasian.

Masih belum jelas kelanjutan kasus Ong Su Ping Serene dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan cambuk itu, kata Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono.

Sementara itu, Piter Boki selaku perekrut lapangan Meriance dari desanya di NTT, telah dipenjara karena membantu melakukan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan vonis tiga tahun pada 2018.

Pelaku lain yang berperan menjadi penampung di Kupang dan mengurus keberangkatan ke Malaysia, yaitu Theodorus Fransiskus Moa alias Tedy Moa (petugas lapangan PT Malindo Mitra Perkasa) juga telah divonis lima tahun penjara.

Selain terlibat dalam kasus Meriance, Tedy Moa pernah dipenjara sebelumnya karena melakukan perekrutan dan pemalsuan dokumen dua perempuan di bawah umur untuk menjadi calon PMI.

Dua tersangka lain, yaitu Asnat Tafuli dan Lisa To, masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).

Oknum-oknum lain di kasus Meriance yang diduga berperan dalam mengurus pembuatan dokumen, pengiriman secara ilegal dari Batam ke Malaysia, hingga praktik perdagangan PRT di Negeri Jiran, kata pegiat, tidak terlacak.

Modus perekrutan, 'roh kudus berbisik kerja di Malaysia'

Meriance bersama kedua orang tuanya di Desa Poli, TTS, NTT. BBC
Meriance bersama kedua orang tuanya di Desa Poli, Timor Tengah Selatan, NTT.

Sabtu malam, awal April 2014. Meriance masih ingat betul, ada dua tamu yang datang ke rumahnya di Desa Poli, Amanatul Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT.

Mereka adalah Piter Boki dan Asnat Tafuli yang mengaku berasal dari persekutuan doa, orang-orang yang langsung dia percaya.

Meriance bercerita, pada malam itu, para perekrut bersikap layaknya utusan Tuhan yang mengumbar "rayuan surgawi".

"Mereka bilang roh kudus berbisik dan menyebut nama saya untuk pergi kerja di Malaysia. Saya ini orang desa yang tidak tahu apa-apa, dan percaya dengan mereka yang membawa nama Tuhan. Saya tidak curiga sama sekali," ceritanya.

Pada malam itu, mengutip putusan pengadilan atas Piter Boki, Asnat Tafuli berkata ke Meriance, "Kamu jangan takut, sebelum ke sini kami sudah berdoa, dan orang yang saat itu berdoa mengatakan bahwa di kampung ini ada orang yang mau ikut bekerja.

"Nanti kamu akan mendapatkan bos yang baik di Malaysia… Jangan bawa apa-apa, semua bos yang urus dan bos yang tanggung."

Tidak hanya Meriance, mereka juga merekrut saudari iparnya, Jeni Silla.

Bermodal Kartu Tanda Penduduk (KTP), mereka meninggalkan desanya, yang tidak memiliki sinyal telekomunikasi dan akses jalan rusak berbatu besar, menuju Kupang, ibu kota Provinsi NTT.

Di Kupang, Piter Boki lalu menyerahkan Meriance dan Jeni Silla ke Tedy Moa dan Lisa To usai mendapatkan bayaran, seperti tertera dalam dokumen pengadilan.

Baca juga:

Meriance mengatakan, Tedy Moa adalah pihak yang mengurus proses pembuatan paspornya. Saat di kantor imigrasi, Meriance mengaku dibantu oleh seorang petugas kenalan Tedy Moa untuk mengisi identitas dan pemotretan foto.

Di dalam putusan pengadilan, Tedy mengatakan, "Ibu [Meriance] menunggu saja di rumah sampai pengurusan dokumen Ibu selesai baru Ibu diberangkatkan".

Kemudian, Tedy juga disebut menghubungi pelaku lain di Batam untuk mengatur penyeberangan ke Malaysia. Tedy mengatakan ke Meriance, "Nanti transit di Surabaya, dan di Batam sudah ada orang yang menjemput".

Meriance memeluk anaknya yang menangis. BBC
Meriance meninggalkan anaknya yang masih kecil-kecil saat ke Malaysia.

Meninggalkan keempat anaknya yang masih kecil dan suami yang bekerja sebagai tukang batu, Meriance terbang ke Batam pada 11 April 2014.

Suami dan orang tuanya tak bisa lagi mengontaknya karena ponselnya diambil, ujar Meriance.

Di Batam, kata Meriance, mereka dibawa dua orang laki-laki ke penampungan sementara, dan kemudian dengan menggunakan kapal menyeberang ke Johor Bahru, Malaysia.

"Sesampainya di Malaysia, ada bus yang jemput ke tempat penampungan, di sana banyak perempuan NTT. Lalu beberapa minggu kemudian majikan jemput saya," ujarnya.

Dia dijanjikan mendapatkan gaji MYR 700 (sekitar Rp2,4 juta). Tujuan cepatnya saat itu adalah dapat mengirim uang dan membantu ekonomi keluarga yang dia sebut "sangat-sangat kurang".

Ketika itu dia bahkan berani bermimpi untuk bisa punya rumah sendiri.

Namun kenyataannya, setelah hanya tiga minggu bekerja Meriance justru mengalami "penyiksaan kejam", sampai diselamatkan polisi pada akhir Desember 2014.

Dibujuk orang yang mengaku pendeta

Tidak mendapatkan gaji, dilarang berkomunikasi dengan keluarga hingga mendapatkan pelecehan, Nona memutuskan melarikan diri. BBC
Tidak mendapatkan gaji, dilarang berkomunikasi dengan keluarga hingga mendapatkan pelecehan, Nona memutuskan melarikan diri.

Pengalaman serupa dialami oleh penyintas penyiksaan lain. Dia adalah perempuan NTT yang mengaku diperdaya oleh seseorang yang menyebut dirinya sebagai pendeta dan berada dalam satu persekutuan doa dengan keluarganya.

BBC menemui Nona, bukan nama sebenarnya, di Batam, tahun lalu.

Nona mengenang, satu minggu menjelang ulang tahunnya yang ke-17, rumahnya di Kupang dikunjungi oleh seseorang yang dia panggil "Opa".

"Opa itu mengaku pendeta dan bawa-bawa nama Tuhan. Dia bilang bahwa saya dipilih Tuhan kerja di Batam dan Malaysia," ujar Nona.

Baca juga:

Nona melempar sebuah kertas untuk meminta bantuan saat melarikan diri dari perusahaan penyalur kerja di Batam. BBC
Nona melempar sebuah kertas untuk meminta bantuan saat melarikan diri dari perusahaan penyalur kerja di Batam.

Di setiap proses pengurusan dokumen KTP hingga kartu keluarga, Nona menambahkan, Opa itu selalu mengajaknya berdoa.

"Dia juga kasih uang ke petugas buat urus KTP. Besok pagi KTP dan KK selesai. Usia saya diganti jadi 18 tahun," katanya.

Opa itu lalu memberangkatkan Nona ke Batam dan tinggal di sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja.

Mengaku tidak mendapatkan gaji, dilarang berkomunikasi dengan keluarga hingga mendapatkan pelecehan, Nona melarikan diri dari perusahaan itu dan berlindung di sebuah shelter perlindungan di Batam.

Pendeta Emmy Sahertian, yang mendampingi Meriance sekaligus aktivis anti-perdagangan manusia, mengatakan, "Bagi orang desa yang mendengar 'Tuhan memilih kami untuk ke sana', mereka langsung percaya."

"Mereka menggunakan wajah agama, dan itu menampar kami juga," kata Pendeta Emmy.

Pendamping Meriance dan juga aktivis anti-perdagangan manusia, Emmy Sahertian. BBC
Pendamping Meriance dan juga aktivis anti-perdagangan manusia, Emmy Sahertian.

Selain agama, Emmy mengatakan, para perekrut juga mengombinasikan bujukan itu dengan iming-iming gaji besar, proses dokumen mudah dan gratis, kerja yang ringan, hingga majikan yang baik.

"Nyatanya, proses ilegal itu membuat mereka mendapatkan penyiksaan hingga tewas, seperti yang dialami oleh Adelina Sau," kata Emmy, merujuk pada pekerja migran Indonesia yang meninggal pada Februari 2018, hanya beberapa hari setelah diselamatkan dari rumah majikannya.

Jaringan berlapis dan terputus, 'teri ditindak, kakap sulit dijangkau'

Perekrutan dari desa ke daerah transit sampai ke Malaysia dilakukan oleh mafia dengan jaringan "berlapis dan terputus", kata mantan anggota Satgas Anti-Trafficking Kepolisian Daerah NTT, Rudy Soik.

Rudy juga ikut dalam pengusutan dan penindakan mereka yang terlibat dalam kasus Meriance serta Adelina Sau.

Dengan jaringan berlapis dan terputus ini, kata Rudy, banyak kasus berhenti di tingkat bawah.

Perekrut lapangan di desa dan Kota Kupang, atau yang disebut oleh Rudy dan para pegiat sebagai aktor "ikan teri" atau "jari-jari", lebih mudah terjaring.

Baca juga:

Mantan anggota satgas anti-trafficking Kepolisian Daerah NTT -yang ikut menangani kasus Adelina Sau dan Meriance Kabu- Rudy Soik BBC
Mantan anggota satgas anti-trafficking Kepolisian Daerah NTT yang ikut menangani kasus Adelina Sau dan Meriance Kabu, Rudy Soik

"Kenapa hanya di bawah [diproses hukum], sampai atas tidak? Karena jaringan mereka hidup dan sistemnya terputus seperti narkoba. Kalau satu tertangkap, mati satu sudah. Contoh, ketangkap matinya di satu titik, tidak akan tersentuh ke atas," kata Rudy.

"Akhirnya hanya ikan teri di desa hingga Kupang yang umumnya bisa ditindak [hukum], sementara ikan kakap di Batam dan Malaysia sulit dijangkau secara hukum," ujarnya.

Pendeta Emmy yang beberapa kali menghadiri sidang TPPO menyebut "para perekrut lapangan ini sering kali adalah orang-orang lugu yang sebenarnya adalah korban juga."

Dalam beberapa kasus, kata pegiat anti-perdagangan manusia, para perekrut lapangan adalah keluarga, kerabat dekat korban, hingga warga dari desa yang sama.

"Kenapa tidak ada mafia-mafia besar dan oknum-oknum [petugas] yang membantu TPPO ini dijerat hukum? Padahal mereka yang memperdagangkan Meriance Kabu, Adelina Sau dan ribuan korban lainnya. Jika mereka tidak dipenjara, perdagangan manusia akan terus terjadi," kata Emmy.

'Banyak pelaku kakap yang berkeliaran'

Polda NTT mengaku masih banyak pelaku kelas kakap dalam praktik perdagangan pekerja migran ini yang berkeliaran.

"Tidak dipungkiri juga masih banyak para pelaku kelas kakap yang berkeliaran yang mana kendala bagi penyidik yaitu para pelaku kelas kakap kebanyakan berasal dari luar negeri yaitu Malaysia.

"Dalam hal ini agensi yang mana para pelaku kelas kakap ini mengontrol langsung proses perekrutan yang dilakukan oleh para perekrut TKI di kantong-kantong rekrutmen. Karena proses perekrutan yang dilakukan adalah secara nonprosedural, secara perorangan, yang mana perekrut TKI mengirim langsung TKI ke negara tujuan penempatan," sebut Polda NTT dalam pernyataan tertulis kepada BBC.

Mungkin Anda tertarik:

Senada, Dubes Hermono mengatakan, pelaku TPPO yang tertangkap umumnya adalah perekrut lapangan atau calo yang dia juga sebut sebagai "ikan teri", sedangkan oknum-oknum petugas hingga mafia tidak ada yang dibawa ke meja pengadilan.

"Trafficking itu unsurnya direkrut, dipindahkan, dan dijual di sini [Malaysia], jadi tidak mungkin berdiri sendiri," ujar Hermono kepada BBC saat ditemui di kantor KBRI Malaysia.

Tiga lapis jaringan mafia, dari desa NTT hingga Malaysia

Suasana di salah satu desa di Kabupaten Malaka, NTT BBC
Suasana di salah satu desa di Kabupaten Malaka, NTT

Rudy Soik yang berpengalaman menyidik puluhan kasus perdagangan manusia pekerja migran di NTT, menyebut terdapat tiga lapis jaringan mafia TPPO.

Pertama adalah perekrut lapangan di desa dan pelaku di Kupang yang berperan dalam menampung hingga mengurus dokumen seperti KTP, tiket pesawat, hingga paspor.

"Sekitar 80% komunitas pemain di NTT itu terkait semua dan terhubung. Mereka saling kenal dari tingkat desa hingga provinsi," ujarnya.

Lapis pertama ini cenderung mudah dijerat hukum, ujar Rudy, karena mereka adalah pihak yang bertemu langsung dengan korban dan keluarganya.

Jalur perdagangan TPPO dari NTT ke Malaysia BBC

Lapis kedua adalah kelompok mafia yang tinggal di Batam dan kota besar lain. Mereka bekerja sama dan membayar para penampung dan perekrut lapangan di NTT.

Mafia di Batam, lanjut Rudy, berperan menerima permintaan tenaga kerja dari agensi tenaga kerja Malaysia dan mengurus penyeberangan dengan kapal, baik di pintu pemeriksaan resmi maupun jalur ilegal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Orang di Batam itulah yang bekerja sama dengan lapis ketiga, yaitu orang di Malaysia, melalui satu pintu," katanya.

Rudy menyebut setidaknya ada empat warga negara Malaysia yang sering disebut-sebut sebagai bos mafia TPPO untuk pekerja migran nonprosedural asal NTT.

Maraknya praktik perdagangan pekerja migran di NTT, tambah Rudy, khususnya pekerja rumah tangga, disebabkan oleh besarnya ceruk keuntungan yang diperoleh sindikat mafia TPPO.

Aliran uang BBC

Rudy menyebut, agen penyalur tenaga kerja di Malaysia memberikan uang sekitar Rp30 juta-Rp50 juta ke sindikat TPPO seperti di Batam, Medan, dan kota besar lainnya untuk setiap calon PMI nonprosedural yang direkrut.

Kemudian mafia di Batam itu mengambil keuntungan lebih dari 50% dan memberikan sisanya sebesar Rp15 juta-Rp20 juta ke koordinator di level provinsi, kata Rudy.

Rumah orang tua Adelina. BBC
Orang tua Adelina Sau di depan rumah mereka.

Uang tersebut, lanjut Rudy, mengalir ke perekrut di tingkat kabupaten/kota, hingga menjadi sekitar Rp5 juta-Rp10 juta di tingkat desa.

Akhirnya, uang itu menjadi maksimal Rp1 juta yang kemudian diberikan oleh perekrut lapangan kepada keluarga di desa sebagai sirih pinang alias mahar agar mereka melepas anaknya bekerja di Malaysia.

Keluarga Adelina Sau mengatakan, mereka menerima sirih pinang sebesar Rp200.000.

Batam jadi 'surga perdagangan orang yang terstruktur, sistematis, dan masif'

Dalam banyak praktik TPPO warga NTT, Batam dan sekitarnya selalu disebut sebagai pintu masuk utama PMI ilegal ke Malaysia.

Pegiat anti-perdagangan orang, Chrisanctus Paschalis Saturnus dari Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau (KKPPMP) menuding adanya kerja sama antara mafia dan oknum petugas.

"Batam itu surga perdagangan orang ke Malaysia. Para mafia bekerja sama dengan oknum aparat [polisi dan imigrasi] secara terstruktur, sistematis dan masif. Kejahatan yang luar biasa mengerikan," ujar Paschalis yang meraih penghargaan Hassan Wirajuda Pelindungan WNI Award (HWPA) tahun 2021.

Chrisanctus Paschalis Saturnus dari Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau (KKPPMP). BBC
Chrisanctus Paschalis Saturnus dari Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau (KKPPMP).

Paschalis menjelaskan, terdapat dua jenis jalur penyeberangan dari Batam ke Malaysia yang digunakan mafia TPPO.

Pertama adalah yang dia sebut pintu depan, yaitu jalur pelabuhan resmi yang melewati tempat pemeriksaan imigrasi (TPI).

Di pintu ini, Paschalis menyebut, proses penyelundupan hingga perdagangan manusia dapat terjadi karena adanya kerja sama antara mafia dengan oknum petugas yang meloloskan PMI nonprosedural.

Selamat datang di Batam BBC
Tulisan selamat datang di Batam, Kepulauan Riau.

"Korban menggunakan paspor ke Malaysia sebagai turis tapi sebenarnya untuk bekerja ilegal karena tidak memiliki syarat menjadi pekerja migran," kata Paschalis.

Calon PMI yang mengeluarkan uang untuk bisa masuk dan bekerja secara ilegal di Malaysia dikategorikan sebagai penyelundupan (smuggling), sedangkan mereka yang direkrut dengan tipu daya lalu diperjualbelikan adalah perdagangan manusia (trafficking).

Salah satu pintu resmi yang kerap digunakan para mafia untuk mengirim calon PMI nonprosedural adalah Pelabuhan Batam Center, lanjut Paschalis.

Pelabuhan Batam Center. BBC
Pelabuhan Batam Center.

BBC News Indonesia mendatangi Pelabuhan Batam Center pada Maret 2022 lalu. Namun, karena pandemi, aktivitas penumpang terlihat sepi dan hanya sekitar tiga kapal yang bersandar.

Menurut aturan, WNI diizinkan masuk ke Malaysia dan negara-negara ASEAN lain sebagai pelancong tanpa visa dan dapat tinggal selama maksimal 30 hari.

Namun, jika ingin bekerja di luar negeri, sesuai Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, setiap WNI harus dilengkapi dengan beragam dokumen, seperti paspor, visa kerja, perjanjian kerja, hingga sertifikat kompetensi kerja.

Pada awal Desember tahun lalu, Paschalis dan timnya menelusuri pintu resmi ini dengan mengikuti salah satu kapal penyeberangan dari Pelabuhan Batam Center, Indonesia, menuju Pelabuhan Tanjung Pengelih, Johor Bahru, Malaysia.

Mereka menemukan pola penyelundupan dan perdagangan manusia, mulai dari kode khusus di tiket kapal, pemaksaan dan situasi mencekam di dalam kapal feri, hingga penjemputan dengan bus dua tingkat di pelabuhan Malaysia.

Kabid Humas Polda Kepulauan Riau, Kombes Pol Harry Goldenhardt, merespon temuan itu dengan mengatakan, "kalau memang ada dugaan seperti itu silakan dilaporkan ke Propam, nanti akan ditindaklanjuti oleh unsur pengawasan."

'Sekitar 70% PMI nonprosedural lewat pintu resmi'

Dubes RI untuk Malaysia, Hermono, pernah mendatangi salah satu pelabuhan resmi di Johor Bahru, Malaysia - tempat masuk WNI dari Batam.

"Saya duduk di situ. Ada tiga orang yang sangat mencolok dari fisik, bawa tas kecil. Saya panggil dan tanya, katanya dari NTT dan mau jalan-jalan. Saya tanya, 'Kamu kerja apa di NTT?' Dia jawab, 'Di rumah bantu-bantu orang tua saja'."

"Saya tanya, 'Urus paspor di mana?' Katanya, 'Di Tanjung Perak, Surabaya lalu diantar ke Batam'."

"Dari sini kelihatan mencurigakan dan ada pertanyaan. Saya tanya lagi, mereka tidak bisa jawab. Saya yakin mereka mau kerja di Malaysia, lalu saya pulangkan ke Batam," ujarnya.

Dubes Indonesia untuk Malaysia, Hermono. BBC
Dubes Indonesia untuk Malaysia, Hermono.

Tidak ada pekerjaan jelas, membuat paspor di Jawa Timur, lalu diantar ke Batam, kata Hermono, adalah salah satu bukti yang menunjukkan bahwa jalur resmi dijadikan pintu masuk untuk bekerja ilegal di Malaysia.

Merujuk data kasus yang ditangani KBRI Malaysia, tambah Hermono, sekitar 70% PMI nonprosedural masuk ke Negeri Jiran melewati jalur tempat pemeriksaan imigrasi (TPI), seperti pelabuhan dan bandara.

"Mereka dibuatkan paspor dan diberangkatkan melalui bandara dan pelabuhan resmi, yang sisanya 30% melalui kapal-kapal kecil ilegal," kata Hermono.

Tudingan kerja sama 'mafia dengan oknum imigrasi'

Maraknya PMI nonprosuderal yang melewati pintu resmi imigrasi, ujar Hermono, disebabkan oleh lemahnya proses pengecekan dan identifikasi saat pembuatan paspor hingga pengawasan di TPI.

"Masa tidak bisa dibedakan mana yang mau bekerja ilegal dan pelancong? Sekarang [buat paspor] terlalu mudah dan sangat longgar. Ini sama saja kita membiarkan orang menjadi korban trafficking, kerja paksa," kata Hermono.

Penyebab lain, tambahnya, adalah adanya dugaan kerja sama antara mafia TPPO dengan oknum petugas imigrasi dan oknum lainnya.

Baca juga:

"Mereka [korban] tidak mengurus sendiri, pasti ada calonya. Saya yakin betul, ada kerja sama antara calo dengan oknum imigrasi," ujarnya.

"Harusnya di Indonesia tahu, apa yang dilakukan dampaknya di sini luar biasa, mencelakakan orang, menjerumuskan orang, mempermalukan negara."

"Malulah negara, katanya negara besar tapi rakyatnya didagangkan sebagai pembantu," kata Hermono.

Konsul Jenderal RI di Johor Bahru, Sigit Suryantoro Widiyanto, juga menemukan ada sindikat oknum imigrasi Indonesia yang terlibat meloloskan PMI nonprosedural ke Malaysia.

"Ada sindikat yang menyediakan stempel palsu dari Imigrasi kita [Indonesia]. Jadi dibuat seolah-olah mereka [PMI nonprosedural] passing setiap bulan, padahal tidak," kata Sigit.

"Ada kejadian dua orang yang kami amankan ke Batam karena membawa cap-cap palsu imigrasi," tambahnya.

Menjawab pertanyaan BBC News Indonesia tentang pembuatan paspor dan penjagaan di perbatasan, Direktur Jenderal Imigrasi, Silmy Karim, mengatakan, pihaknya akan melakukan tindakan sesuai dengan ketentuan berlaku jika ditemukan petugas imigrasi yang diduga menyalahi kode etik ataupun penyalahgunaan wewenang.

Aktivis Romo Paschalis menyebut, "setiap calon pekerja migran nonprosedural yang berangkat [di jalur resmi] dikenakan biaya Rp10 juta - Rp20 juta, entah dengan sistem bayar langsung maupun dengan cara berhutang kepada para mafia."

Paschalis menambahkan total perputaran uang dalam bisnis ini mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah setiap harinya.

Untuk itu, menurut Dubes Hermono, salah satu solusi dalam memutus mata rantai TPPO ini adalah dengan melakukan tindakan pencegahan, yaitu berupa pengawasan yang ketat saat pembuatan paspor hingga di pintu keberangkatan.

"Mau dibenahi seperti apapun, MoU apapun, tidak ada gunanya kalau kita tidak bisa menyelesaikan yang 70% ini, dan ini sangat mudah, very easy. Bukan bisa atau tidak bisa, tapi mau atau tidak mau [ditangani]," kata Hermono.

Apa yang disaksikan BBC di Johor Bahru

Kapal feri bersandar di Pelabuhan Stulang, Johor Bahru, Malaysia. BBC
Kapal feri bersandar di Pelabuhan Stulang, Johor Bahru, Malaysia.

BBC News Indonesia ingin melihat sendiri bagaimana kondisi di salah satu pelabuhan di Johor Bahru.

Ditemani staf KJRI Johor Bahru, pada penghujung Oktober 2022, kami mengunjungi Pelabuhan Stulang Laut, yang menjadi salah satu pintu utama WNI masuk ke Malaysia.

Sesampai di sana, kami diarahkan ke sebuah ruangan yang berisi belasan orang petugas pelabuhan. Sekitar enam orang petugas duduk di kursi, dan sisanya berdiri di samping mereka.

Pelabuhan Stulang, Johor Bahru, Malaysia. BBC
Pelabuhan Stulang, Johor Bahru, Malaysia.

Mereka secara bergantian menanyakan maksud dan tujuan kami meliput pelabuhan tersebut.

Usai berdiskusi sekitar 15 menit, mereka akhirnya mengizinkan kami masuk di dua area yang telah ditentukan, yaitu di pintu pembelian tiket dan area parkir kendaraan.

Petugas kedatangan di Pelabuhan Stulang, Johor Bahru, Malaysia. BBC
Petugas kedatangan di Pelabuhan Stulang, Johor Bahru, Malaysia.

Selama pengambilan gambar, belasan petugas pelabuhan terus mengawal, dan mengambil foto aktivitas kami.

Setelah menunggu hampir dua jam, dari ratusan orang dalam manifes penumpang di satu kapal, kami hanya melihat puluhan orang yang keluar melalui pintu kedatangan.

Jalur tikus, 'menembus rawa dan berenang ke tengah laut'

Sebuah pantai di bagian timur Pulau Batam BBC
Sebuah pantai di bagian timur Pulau Batam

Di luar pintu resmi, masuknya pekerja ilegal adalah melalui apa yang disebut Paschalis dari KKPPMP sebagai "jalur tikus", yaitu dengan kapal kayu dari pesisir pantai Pulau Batam dan sekitarnya lalu menyeberang ke Malaysia.

Proses ini tidak membutuhkan dokumen, namun mengancam nyawa karena banyak korban meninggal dunia akibat kapal tenggelam.

Tahun lalu terjadi beberapa insiden, seperti pada 16 Juni. Saat itu 30 calon PMI (CPMI) nonprosedural tenggelam di perairan Batam, sekitar tujuh orang dinyatakan hilang.

Beberapa bulan kemudian, kapal kayu yang membawa delapan CPMI gelap tenggelam di perairan Nongsa, Batam.

Paschalis menyebut, beberapa titik pantai yang kerap dijadikan jalur keberangkatan ilegal ke Malaysia berada di sepanjang timur Pulau Batam.

Rumah-rumah di sekitar pantai timur Pulau Batam. BBC
Rumah-rumah di sekitar pantai timur Pulau Batam.

BBC News Indonesia menyusuri beberapa titik lokasi itu, dari Pantai Nongsa, ke Pantai Teluk Mata Ikan, hingga Pantai Tanjung Bemban.

Di sepanjang jalan pinggir pantai itu, terdapat belasan bangunan seperti rumah yang bertuliskan penginapan.

Kami lalu berhenti di sekitar Pantai Teluk Mata ikan yang hanya berjarak beberapa kilometer dari kantor Polda Kepulauan Riau hingga Bandar Udara Internasional Hang Nadim.

Foto udara di pinggiran pantai timur Pulau Batam. BBC
Foto udara di pinggiran pantai timur Pulau Batam.

Daratan Malaysia terlihat jelas, dibatasi laut dan kapal-kapal tanker yang hilir mudik.

Kami bertemu dengan seorang warga lokal yang tidak ingin disebutkan namanya.

Baca juga:

Dia bercerita, di tempatnya sering terjadi pengiriman pekerja ilegal dengan kapal kayu ke Malaysia.

"Berangkatnya biasanya malam hari. Mereka melewati rawa-rawa, di dalam air laut setengah badan mereka, lalu berenang dan naik ke kapal kayu. Saat pandemi, ramai di sini karena jalur resmi ditutup," tutur warga itu.

Kapal bersandar di pinggiran pantai timur Pulau Batam. BBC
Kapal bersandar di pinggiran pantai timur Pulau Batam.

Seorang warga lain di sana yang bekerja sebagai pengemudi mobil mengatakan, dia kerap mengantar dan menjemput orang dari pantai tersebut.

"Siangnya tempat wisata di sini, tapi malamnya jadi tempat pengiriman orang ke Malaysia," ujarnya.

"Saya jam dua dan tiga pagi tunggu di sini [pinggir pantai]. Nanti boat-nya datang, kami jemput, mereka disuruh agen dan antar ke tempat tujuan," tambahnya.

Konjen Indonesia di Johor Bahru, Sigit Suryantoro, mendapat informasi bahwa setiap orang yang menggunakan jalur tikus dikenakan tarif Rp5 juta - Rp6 juta per kepala.

"Modusnya, pukul delapan malam atau tengah malam. Sampai di lokasi [Malaysia], para penumpang diturunkan di tengah laut, dan mereka berenang menuju pantai dengan bawaan," kata Sigit dalam wawancara di Johor pada Oktober 2022 lalu.

"Biasanya sudah ada yang tunggu, dan dibawa ke tempat dipekerjakan. Tak ada kontrak, sangat rentan," ujarnya, menambahkan sulit mengetahui pergerakan di jalur ilegal ini.

Tenaga kerja nonprosedural yang meninggal karena tenggelam mencakup, antara lain sebagian dari lebih 700 pekerja asal NTT yang meninggal dari 2014 sampai 2022. Data tenaga kerja dari sejumlah sektor ini menempatkan NTT pada peringkat lima provinsi terbesar dengan jumlah PMI yang meninggal dunia karena berbagai alasan.

Secara nasional, berdasarkan data BP2MI Pusat, rata-rata lebih dari sembilan PMI yang pulang dalam peti jenazah setiap pekan dari 2014 hingga 2022. Totalnya mencapai 4.347 jiwa. Sebagian besar dari mereka bekerja di Malaysia.

Jumlah itu belum termasuk para PMI yang dimakamkan di negara penempatan.

---

Laporan tambahan: Endang Nurdin

Produksi visual: Dwiki Martha

Grafik dan ilustrasi: Aghnia Adzkia, Davies Surya, Arvin Supriyadi, dan Ayu Widyaningsih

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada