Jalan tol tersebut mengular menembus hutan, meliuk hingga ke tepi laut dan ke tempat yang digadang-gadang sebagai proyek pariwisata terbesar di dunia.
Namun, selang 15 tahun kemudian, proyek tersebut tak kunjung rampung. Khalayak belum bisa banyak beraktivitas di Resor Dara Sakor, yang berlokasi di Kamboja bagian selatan.
Proyek ini merupakan proyek besar sebuah perusahaan Tiongkok yang bertujuan menciptakan kota wisata mandiri.
Jika terwujud, perusahaan tersebut mengeklaim resor itu akan berfungsi sebagai lokasi "pesta pora", yang dilengkapi bandara internasional, pelabuhan laut dalam, pembangkit listrik, rumah sakit, kasino, dan vila mewah.
Namun, sampai sekarang bandara masih belum selesai. Sebuah kasino tunggal, yang menempel hotel dan apartemen bintang lima, berdiri sendirian di dekat laut dengan jalan yang belum dirapikan dan dikelilingi proyek konstruksi.
Sebagai sebuah bisnis pariwisata, proyek tersebut belum bisa dikatakan rampung dan berjalan. Namun lokasi konstruksi telah menimbulkan dampak buruk terhadap salah satu lingkungan alam terkaya di Asia, dan ribuan orang yang tinggal di sana.
Jejak ekonomi Tiongkok di Kamboja kini jauh lebih besar jika dibandingkan negara lain. China menyediakan setengah dari seluruh investasi langsung dan sebagian besar bantuan luar negeri ke Kamboja.
Kamboja adalah mitra yang antusias dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI), strategi Presiden Xi Jinping untuk memperluas infrastruktur yang dibangun dan didanai Tiongkok di seluruh dunia. Banyak hal yang jelas bermanfaat. Namun sebagian besar investasi Tiongkok bersifat spekulatif, terburu-buru, dan tidak direncanakan dengan baik.
Kota pesisir Sihanoukville yang dulunya tenang, misalnya, di seberang Dara Sakor, diubah hanya dalam beberapa tahun menjadi lokasi konstruksi besar untuk memenuhi permintaan kasino bagi orang-orang Tiongkok.
Keberadaan kasino-kasino tersebut memicu gelombang kejahatan. Ketika Covid melanda, ekonomi perjudian runtuh dan blok menara setengah jadi mengotori pemandangan kota. Dengan demikian, kekhawatiran bahwa Dara Sakor akan mengalami masalah serupa sangat beralasan.
"Ini seperti memanggang tanpa tepung," kata Sophal Ear, seorang akademisi Kamboja di Arizona State University.
"Mereka tidak bisa mengandalkan praktik-praktik yang tidak berkelanjutan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Bagaimana dengan gelembung real estat Tiongkok? Ketika Tiongkok bersin, Kamboja akan terkena flu."
Pembangunan gaya Hun Sen
Dara Sakor adalah jenis pembangunan yang disukai mantan perdana menteri Kamboja, Hun Sen.
Proyek itu berlangsung dalam skala besar, namun dilakukan dengan sangat rahasia. BBC menemukan bahwa hanya ada sedikit konsultasi atau evaluasi mengenai dampak yang ditimbulkan terhadap manusia dan lingkungan.
Perusahaan-perusahaan Tiongkok yang terlibat hanya memberikan sedikit informasi tentang perusahaan mereka, dan beberapa di antaranya memiliki rekam jejak yang meragukan.
Proyek ini juga menimbulkan kecurigaan internasional mengenai tujuan lain yang mungkin dimiliki Tiongkok di wilayah Kamboja ini.
Pendekatan "jangan tanya apa-apa" yang dilakukan Tiongkok terkait bantuan dan investasi, menarik bagi Hun Sen. Dia adalah seorang tokoh kuat yang, setelah mengakhiri perang nan menghancurkan selama tiga dekade pada 1990-an, berupaya mendorong pertumbuhan besar-besaran agar negaranya bisa bersaing dengan tetangga-tetangganya.
Masalahnya, sebagian besar pertumbuhan ini dicapai dengan memberikan konsesi besar, khususnya bidang tanah yang luas, kepada kroni-kroni dan perusahaan-perusahaan asing.
"Tidak ada institusi," kata Sebastian Strangio, yang telah menulis buku yang mungkin merupakan buku definitif tentang Kamboja pimpinan Hun Sen.
"Sistem ini bergantung pada upaya menjaga kepuasan orang-orang berkuasa."
Baca juga:
- WNI korban 'sindikat penipuan online' di Laos, Kemlu Indonesia bebaskan 37 WNI - 'delapan WNI masih belum dapat keluar'
- Mengungkap sindikat penipuan online 'jagal babi' yang memikat korban dengan asmara
Proyek Dara Sakor dimulai pada awal 2008, ketika UDG, sebuah perusahaan konstruksi swasta Tiongkok yang berbasis di Kota Tianjin, mendapat hak sewa selama 99 tahun - jangka waktu maksimum yang diperbolehkan berdasarkan hukum Kamboja — dengan deposit tunggal sebesar US$1 juta.
UDG juga memperoleh hak mengembangkan 36.000 hektare pada masa awal investasi, dan bisa mengembangkan 9.000 hektare kemudian.
UDG tidak perlu membayar apa pun selama 10 tahun. Setelah itu perusahaan tersebut hanya membayar US$1 juta per tahun — kesepakatan yang sangat murah hati mengingat UDG dapat menguasai seperlima dari seluruh garis pantai Kamboja.
Karena lahan tersebut berada di dalam Taman Nasional Botum Sakor, dan jauh melebihi batas legal seluas 10.000 hektare untuk satu proyek, hal ini bakal sangat kontroversial - jika ada orang lain yang mengetahuinya.
Namun karena tidak ada informasi yang dipublikasikan mengenai kesepakatan tersebut pada saat itu, hal tersebut sama sekali tidak dibahas media Kamboja.
Som Thy, seorang nelayan setempat, membawa BBC dengan sepeda motornya menyusuri jalan berpasir melewati hutan untuk melihat tempat tinggalnya dulu, di dalam kawasan UDG. Sebagian besar tutupan pohon kini telah hilang. Di beberapa tempat, beberapa pohon raksasa berdiri kesepian, dikelilingi tanah tandus.
Sejak tahun 2008, taman nasional ini telah kehilangan hampir 20% hutan primernya, menurut LSM Global Forest Watch. Lebih dari 1.000 keluarga tercerabut dan terpaksa meninggalkan desa mereka. Salah satu keluarga itu adalah keluarga Som Thy.
"Saya meneteskan air mata melihatnya seperti ini, semuanya ditumbuhi tanaman," katanya sambil memandang ke tempat yang dulu adalah rumah dan sawahnya.
Beberapa pohon jambu mete masih tersisa di kebun yang biasa diandalkan keluarganya untuk menambah penghasilan dari bertani dan menangkap ikan.
Baca juga:
Seperti 12 penduduk desa yang dipindahkan Dara Sakor, Som Thy dipindahkan ke sebuah rumah kayu kecil yang dibangun oleh perusahaan beberapa kilometer dari pantai pada 2009 lalu.
Pada tahun-tahun pertama itu banyak terjadi protes. Saat ini Som Thy tergabung dalam salah satu kelompok kecil yang masih menolak menerima paket kompensasi perusahaan.
Ia mengatakan mustahil untuk mencari nafkah dari sebidang tanah kecil yang telah diberikan kepada mereka. Adapun jumlah uang yang ditawarkan kepada mereka hanyalah sebagian kecil dari nilai sebenarnya dari tanah asli mereka.
Terkadang dia menyelinap kembali ke Dara Sakor dengan membawa perahunya untuk memancing.
Dia juga melakukan perjalanan ke Thailand untuk mencari pekerjaan. Karena terus menolak proyek tersebut, Som Thy tidak bisa mendapatkan pekerjaan seperti saudaranya di lokasi pembangunan di sekitar kasino.
UDG membuat sejumlah brosur yang mempesona bagi calon investor, dengan gambar lapangan golf yang terawat, deretan vila yang tertata rapi, dan keluarga bahagia yang menikmati rekreasi pantai.
Terdapat peta rumit yang menggambarkan beberapa bagian dari kota rekreasi ini — Zona Sains dan Pendidikan, Pusat Perdagangan Dunia, serta Zona Hutan dan Keanggunan.
Namun semua ini sama sekali belum terealisasi dan sangat kontras dari hutan yang gundul, pengungsi, serta jalan dan bangunan setengah jadi yang masih bisa Anda lihat hingga saat ini.
Menurut organisasi lingkungan hidup Tiongkok GEI, yang menerbitkan studi rinci tentang Dara Sakor pada 2016, tidak ada bukti bahwa perusahaan tersebut telah melakukan penilaian dampak lingkungan, sebagaimana diwajibkan oleh hukum Kamboja.
GEI juga tidak dapat menemukan informasi tentang bagaimana hutan yang seharusnya dilindungi, diubah fungsinya menjadi layak untuk dikembangkan. GEI mengatakan pihaknya menyampaikan keprihatinannya kepada UDG.
"Mereka tidak menanggapi poin-poin ini," kata direktur program Ling Ji kepada BBC.
"Mereka hanya berkeras bahwa mereka telah mengikuti semua undang-undang dan peraturan yang relevan. Mereka tidak melihat masalahnya. Hal ini berdampak sangat buruk pada citra Tiongkok. Banyak negara akan berpikir bahwa perusahaan Tiongkok ada di sini hanya untuk menjarah sumber daya," ujarnya kemudian.
Perusahaan Tiongkok, lanjut Ling Ji, tidak punya kesadaran atau kemampuan menangani keluhan lokal di negara lain, karena menurutnya, di China hal-hal seperti ini selalu ditangani oleh pemerintah daerah.
"Di luar negeri, sangat berbeda. Ini masih menjadi proses pembelajaran bagi mereka."
Memburu pengaruh China
Besarnya proyek ini juga membunyikan alarm peringatan di Amerika Serikat.
Pada 2020, Departemen Keuangan AS menjatuhkan sanksi terhadap UDG, dengan alasan perusahaan itu melakukan pelanggaran hak asasi manusia karena mengusir warga desa, serta potensi penggunaan bandara baru oleh militer Tiongkok. Landasan pacu ini jauh lebih panjang dari yang diperlukan untuk pesawat kecil untuk keperluan wisata.
AS sudah mengkhawatirkan Pangkalan Angkatan Laut di dekat Sihanoukville yang sedang direnovasi dengan pendanaan pemerintah Tiongkok. Menurut Washington, lokasi ini mungkin akan digunakan oleh Angkatan Laut Tiongkok di masa depan.
AS menjadi semakin tidak nyaman dengan infrastruktur yang dibangun Tiongkok karena Xi menekankan dwifungsi sipil-militer — yang disebut Tiongkok sebagai "penggabungan militer-sipil" — dalam perencanaan ekonominya sekaligus persyaratan resmi yang mewajibkan proyek-proyek Tiongkok di luar negeri memenuhi standar militer.
"RRC telah menggunakan proyek UDG di Kamboja untuk memajukan ambisinya memproyeksikan kekuatan secara global," demikian pernyataan yang menyertai sanksi tersebut.
Baca juga:
UDG menyebut sanksi tersebut tidak dapat dibenarkan dan mengatakan AS bertindak berdasarkan "fakta dan rumor yang dibuat-buat".
UDG mengeklaim bahwa mereka "selalu mengikuti prosedur yang diwajibkan oleh hukum dengan taat", dan bahwa orang-orang yang tinggal di dalam lahan konsesinya adalah pemukim ilegal.
UDG menegaskan bahwa bandara berskala besar sedang dibangun untuk menjadikan Dara Sakor sebagai "pusat transportasi global".
Perusahaan itu menguatkan klaim tersebut dengan beberapa target yang sangat ambisius. Pada 2030, situs web UDG menyatakan ingin memiliki 1,3 juta penduduk jangka panjang, menggaet hampir tujuh juta wisatawan berkunjung setiap tahun, dan menyediakan lapangan kerja bagi satu juta orang.
Angka-angka ini mengejutkan mengingat kedatangan wisatawan di seluruh Kamboja masih jauh di bawah jumlah tertinggi, yaitu enam juta orang pada 2019.
UDG juga mempermasalahkan deskripsi AS bahwa mereka adalah badan usaha milik negara — kami adalah perusahaan milik swasta, kata UDG.
Ini benar, namun terdapat dukungan kuat dari lembaga-lembaga negara Tiongkok sejak tahap awal proyek itu.
Badan perencanaan ekonomi utama Tiongkok, Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional, telah memberikan persetujuannya bahkan sebelum perjanjian tersebut ditandatangani, dan terus memantaunya.
Bos Partai Komunis di Tianjin, Zhang Gaoli, juga terlibat sejak awal. Dia bertandang ke Kamboja pada akhir 2008 untuk mengambil bagian dalam upacara penandatanganan kontrak.
Zhang kemudian menjadi salah satu pemimpin paling senior di Tiongkok, dan mulai 2015 ia memimpin Belt and Road Initiative(BRI) — proyek-proyek infrastruktur guna merealisasikan jalan sutra modern.
Meskipun Dara Sakor lima tahun lebih tua dari BRI, kini proyek itu secara resmi digambarkan sebagai proyek percontohan BRI.
UDG juga membangun hubungan dekat dengan tokoh-tokoh senior partai berkuasa di Kamboja. Mereka telah memberikan beberapa sumbangan besar kepada Palang Merah Kamboja, yang dijalankan oleh istri Hun Sen, Bun Rany, dan memberikan US$1 juta untuk mendanai pembangunan monumen yang mengagungkan pencapaian Hun Sen.
UDG juga mempunyai hubungan dekat dengan mantan Menteri Pertahanan Tea Banh, yang memimpin salah satu faksi politik paling kuat di Kamboja.
Namun, perusahaan ini hanya mengeluarkan sedikit informasi mengenai keuangannya, sehingga sulit untuk menilai kapasitasnya dalam menjalankan proyek sebesar ini.
Salah satu dari sedikit investasi yang diketahui di Dara Sakor adalah penerbitan obligasi pada 2017 yang dijamin oleh China Development Bank.
Namun jumlah tersebut hanya sebesar US$15 juta, jumlah kecil jika dibandingkan dengan janji investasi UDG sebesar hampir $4 miliar.
Peran utama UDG kini tampaknya telah diambil alih oleh perusahaan lain, China City Construction Company atau CCCC. Hal ini hampir tidak diketahui di luar Tiongkok ketika pada 2014, karena alasan yang masih belum jelas, CCCC melibatkan diri ke dalam proyek Dara Sakor.
Para pejabat eksekutif CCCC sekarang memainkan peran utama dalam UDG. CCCC menyatakan bahwa mereka, bukan UDG, bertanggung jawab atas "rancangan program keseluruhan untuk perencanaan dan pengembangan zona pariwisata khusus ini".
Gelembung pecah
CCCC adalah badan usaha milik negara, yang sejatinya bermasalah.
Pada 2016, ketika perusahaan tersebut berada di bawah kendali Kementerian Perumahan Rakyat, perusahaan ini menimbulkan kejutan di pasar keuangan Hong Kong setelah tiba-tiba mengumumkan bahwa telah diprivatisasi atas perintah pemerintah Tiongkok. Perusahaan itu mengaku diambil alih oleh dana ekuitas yang kurang dikenal bernama Huinong.
Hal ini membuat panik para investor yang telah membeli ratusan juta dolar dari apa yang disebut "obligasi dim sum" CCCC — obligasi yang diterbitkan di Hong Kong untuk menghindari kontrol modal Tiongkok.
Mereka mencoba menebus obligasi tersebut, namun CCCC tidak dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi pembayaran tersebut.
Baca juga:
CCCC kepayahan secara finansial. Peringkat kreditnya kini ternoda dan terpaksa menjual beberapa bisnisnya yang lebih menjanjikan.
Terungkap juga bahwa Huinong, dana misterius yang mengambil alih CCCC pada tahun 2016, secara tidak langsung dimiliki oleh Kementerian Keuangan. Sehingga secara teknis CCCC menjadi milik negara lagi.
Ketidakjelasan seperti ini membuat sangat sulit untuk menilai kesehatan keuangan CCCC yang sebenarnya, yang kemungkinan besar terkena dampak dari jatuhnya pasar properti Tiongkok baru-baru ini.
"Ada banyak sekali investasi ke luar pada periode awal inisiatif Belt and Road, 2014 hingga 2016," kata Victor Shih, direktur 21st Century China Center di Universitas California San Diego.
"Namun, pada tahun 2016, pemerintah Tiongkok menjadi lebih berhati-hati. Mereka tidak lagi membuang-buang uang dan menyetujui proyek mana pun."
Investor lain di Dara Sakor adalah pengusaha Tiongkok bernama She Zhijiang, yang terkenal karena menjalankan kasino di sepanjang perbatasan Thailand-Myanmar, tempat perdagangan manusia dan operasi penipuan berskala besar terungkap. Dia saat ini ditahan di Thailand menunggu ekstradisi ke Tiongkok.
Beberapa orang, dari Thailand, Taiwan, dan Filipina, harus diselamatkan setelah mengatakan mereka ditahan secara paksa di pusat penipuan yang beroperasi di dalam kompleks Dara Sakor.
Pemberitaan mengenai pusat penipuan yang beroperasi di zona investasi Tiongkok di Kamboja kini menghalangi wisatawan Tiongkok untuk berkunjung. Akibatnya, pemulihan sektor pariwisata, yang merupakan salah satu sumber pendapatan terpenting Kamboja, berjalan jauh lebih lambat dari perkiraan.
Baca juga:
Meski demikian, harapan reformasi di bawah PM baru Kamboja — Hun Manet, putra Hun Sen yang berpendidikan Barat — terbilang mustahil, menurut Sebastian Strangio.
"Dia akan menjadi tawanan dari sistem ini. Dia akan mempunyai kekuasaan yang terbatas untuk mengendalikan hal-hal yang berlebihan, bahkan jika dia ingin melakukannya," katanya.
Pekan lalu, hanya sebulan setelah menggantikan ayahnya, Hun Manet mengunjungi Beijing untuk bertemu Xi dan meyakinkannya bahwa hubungan Tiongkok-Kamboja sangat solid.
Dara Sakor sebenarnya hanyalah salah satu dari beberapa konsesi lahan yang sangat besar di wilayah tersebut, yang sebagian besar diberikan kepada bisnis lokal Kamboja yang bersekutu dengan partai berkuasa.
Besarnya kepentingan pribadi dalam model pembangunan yang diterapkan di Kamboja hingga saat ini membuat perubahan sangat sulit dilakukan.
Sebanyak 80% dari taman nasional kini dieksploitasi secara komersial dan hanya sedikit perhatian terhadap peringatan berulang kali dari para aktivis lingkungan bahwa negara ini bakal kehilangan salah satu habitat alami terpentingnya.
Salah satu aktivis tersebut, seorang perempuan muda berusia 20-an, ikut bepergian bersama kami untuk mengunjungi Dara Sakor.
Dia saat ini dibebaskan dengan jaminan setelah dijatuhi hukuman penjara 18 bulan pada tahun 2021 karena mencoba mengadakan protes terhadap perampasan tanah lainnya.
Dia telah mengambil risiko besar dengan ikut bersama kami ke konsesi UDG.
"Kami tidak punya pilihan," katanya, saat kami memandang ke hamparan hutan yang sudah rusak.
"Kami harus mengambil risiko masuk penjara, atau lebih buruk lagi, untuk mencoba melindungi apa yang tersisa untuk generasi berikutnya."