Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Tragedi Kanjuruhan: Pukulan bagi Geliat Sepak Bola Nasional

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Tragedi Kanjuruhan: Pukulan bagi Geliat Sepak Bola Nasional
Iklan

Sabtu malam (01/10) menjadi momen pilu bagi sepak bola Indonesia yang tengah menggeliat usai pandemi Covid-19. Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur menjadi saksi bisu kericuhan terburuk dalam sejarah sepak bola nasional, sekaligus menjadi kericuhan maut terparah kedua di dunia. Hingga Minggu malam (02/10) pukul 18.25 WIB, jumlah korban tewas dan meninggal dunia akibat kejadian ini mencapai 125 jiwa.

Laga Arema FC Malang kontra Persebaya Surabaya yang dimenangkan oleh Persebaya memicu pendukung salah satu tim turun ke lapangan dan menciptakan kericuhan maut. Berbagai spekulasi muncul, mulai dari rendahnya jiwa sportivitas suporter di Indonesia, hingga penanganan keamanan yang gagap menghadapi krisis dan kercuhan penonton semacam itu.

Baca Juga:

Reporter DW Indonesia, Rahka Susanto mewawancarai pengamat sepak bola nasional sekaligus jurnalis olahraga, Firzie Adrian Idris, yang sejak 2008 telah menjadi jurnalis untuk bidang olahraga. Firzie mengkhawatirkan, tragedi di stadion Kajuruhan dapat memukul mundur geliat sepak bola Indonesia yang digadang-gadang menjadi harapan baru. Berikut wawancara selengkapnya:

DW: Mengapa kerusuhan supporter sepak bola kembali terulang? Apakah ada regulasi yang salah? Atau kegagapan dalam sistem pengamanan pada sistem pertandingan sepak bola kita?

Firzie Adrian Idris: Kalau kita lihat, walaupun kesannya kejadian ini seperti sesuatu yang kembali terulang, namun kejadian yang sekarangkan jauh lebih besar dari skala sebelumnya. Kalau kita lihat dari jumlah korban, ini menjadi kerusuhan dengan korban terbesar kedua dari pertandingan sepak bola di seluruh dunia. Dan ini sesuatu yang benar-benar mencoreng Indonesia di muka dunia.

Jika kita berbicara regulasi, ini adalah kebiasaan dari suporter-suporter kita ketika pertandingan usai, melihat timnya kalah, mereka tidak terima, pitch invasion, itu sesuatu sikap yang harus diubah, yakni sikap menerima kekalahan.

Baca Juga:

Tapi sekarang kita harus mencari tahu, mengapa yang ini eskalasinya menjadi luar biasa brutal dan liar ketimbang pitch invasion sebelumnya. Apa yang tejadi pada golden moment saat pemain Arema meminta maaf kepada suporter mereka, hingga para suporter lompat dari Tribun, hingga para polisi konfrontasi kepada para suporter. Ada pada saat golden moment itu? Crowed behaviour-nya seperti apa? Polisinya seperti apa? Itu semua harus ditemukan jawabannya dalam proses investigasi yang akan dilakukan nanti kedepannya.

Di sisi lain, beredar juga spekulasi mengenai tindakan polisi yang membubarkan massa dengan menembakkan gas air mata saat kerusuhan terjadi, yang disinyalir menyebabkan korban jiwa berjatuhan lebih banyak. Bagaimana Anda melihat hal ini?

Ya, ini banyak juga yang bilang bahwa penggunaan gas air mata menyalahi FIFA stadium safety and regulation. Bahkan kepolisian Malang sudah tahu kok (aturan itu) saat menggelar final atau semifinal Piala Presiden pada 2019, mereka sudah tahu sebenarnya mereka enggak boleh menggunakan gas air mata. Pendekatannya jangan represif juga saat ada yang masuk ke lapangan. Itu yang seharusnya mereka kerjakan, dan itu yang seharusnya mereka tahu.

Tentu kita lihat dari gambar-gambar yang ada di stadion, saya juga mendapat laporan dari kontributor-kontributor kami yang ada di lapangan kemarin. Situasi berubah menjadi panas saat polisi menembakan gas air mata ke arah tribun bawah stadion Kajuruhan. Gunanya untuk mencegah para fans menyebrang masuk ke lapangan.

Tapi efeknya adalah, asap dari gas air mata itu naik ke Tribun atas, di mana di sana fans-fans yang tidak ikut pitch invasion itu mungkin dari sekitar 40.000, kabarnya ada 1000 sampai 3000 yang turun ke lapangan, tapi mayoritas berada di kursi mereka dan mereka tidak berpartisipasi dalam kekerasan. Nah ternyata gas air mata sampai ke mereka, dan tentu menimbulkan kepanikan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kalau kita lihat di tribun banyak juga suporter yang membawa anak-anak, membawa keluarga mereka. Dan menurut saya sebelum ini sudah bagus sekali, karena sepak bola Indonesia sudah berada di jalur benar. Di mana para anggota keluarga ini cukup nyaman untuk membawa anak-anak mereka ke stadion, itu yang dari dulu selalu diimpikan. Karena 10 tahun lalu orang-orang enggak berani melakukan itu. Nah sekarang kita balik lagi ke era itu, orang akan takut membawa anak-anak kecil ke stadion untuk menonton pertandingan.

Dan ini adalah kesalahan prosedur juga, pasti, dari pihak pengamanan. Jangan juga pihak keamanan menyalahakan suporter Aremania tidak menerima kekalahan. Ya, mereka memang ada salahnya. Ya, seharusnya memang benar suporter tidak seharusnya melakukan itu. Tapi kalo pengamanan benar, dari momen golden moment itu benar, sudah seharusnya ada deeskalasi dari momen itu. Jadi enggak menunggu lapangan penuh dengan para suporter, baru konfrontasi terjadi dan menembakan gas air mata. By that point, that was all to late.

Dari pernyataan Anda, ini berarti ada kegagalan dari pihak keamanan dalam mengangani situasi kritis di lapangan?

Kegagalan dalam kejadian-kejadian seperti ini menurut saya terjadi dalam beberapa pilar. (Mulai dari) crowed behaviour, policing, hingga infrastructure. Kalau satu pilar saja gagal, pilar lainnya akan mendukung (terjadinya kerusuhan). Contohnya, kalau memang ada kerusuhan di stadion, tapi akses keluar-masuknya menuju tribun penonton jelas, para penonton bisa mencari jalan keluar dengan cepat, itu tidak akan menjadi masalah. Kalau misalnya crowed behaviournya sudah menunjukan perilaku yang agresif dan berpotensi menyebabkan kerusuhan, tapi polisi melakukan deeskalasi dengan baik, itu juga tidak akan menjadi masalah.

Nah ini ada kegagalan dalam berbagi fondasi dalam menerapkan stadion safety regulation, termasuk juga sikap dari para penonton kita ini yang harus dibenahi. Semoga dalam investigasi ke depannya dapat ditemukan sejujur-jujurnya, sebenar-benarnya, setransparan-transparannya pada apa yang salah di (stadion) Kanjuruhan tadi malam. Karena kalau masih ditutup-tutupi juga, ada pihak yang tidak merasa bersalah, atau melempar kesalahan, it will happens again in the future.

Geliat sepak bola Indonesia tengah bergairah dalam beberapa waktu terakhir, seberapa besar dampak atas tragedi yang terjadi di stadion Kanjuruhan tadi malam pada sepak bola di Indonesia?

Saya sudah menjadi wartawan sejak 2008, saya melihat Liga Indonesia terbelah dua karena kisruh PSSI. Saya sudah lihat kegagalan-kegagalan Timnas di era ketua umum-ketua umum PSSI terdahulu. Bagaimana harapan-harapan yang timbul, harapan bagaimana ketika kita kembali dari banned FIFA, dan ketika kita bangkit dari Covid. Ini seharusnya menjadi musim pertama kita bangkit dari musim pandemi. Kita melihat tim nasional kita begitu mempesona di bawah Shin Tae-yong ketika melawan Curacao, itu 71 peringkat lho di atas kita. Dan kita bisa menang dua kali melawan mereka.

Kita melihat kurang dari 1 tahun lagi kita akan menjadi tuan rumah dari Piala Dunia U20 pada 2023. Suatu hak yang telah diperoleh Indonesia sebelum pandemi. Dari 2020 dibatalkan, tapi FIFA tetap memberi kepercayaan pada Indonesia untuk menjadi tuan rumah di 2023. Suatu kepercayaan yang saya pikir tidak mudah diraih Indonesia. Saya mengerti sekali perjuangan kepengurusan PSSI yang dahulu untuk mendapatkan hak tuan rumah di ajang bergengsi itu. Jadi ini yang kita takutkan.

Kita belum tahu reaksi FIFA seperti apa terhadap kejadian ini. Apakah mereka melihat kejadian ini terlalu dekat dengan perhelatan Piala Dunia U20, dan apa yang akan terjadi? Menurut saya seluruh investigasi harus segera dilaksanakan secepat mungkin dan setransparan mungkin sehingga kita mendapat kepercayaan kembali dari FIFA untuk tetap menggelar Piala Dunia U20 ini.

(Rahka Susanto/as)

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada