Menurut Hasballah, pemerintah tidak mempunyai keinginan untuk menyelesaikan masalah-masalah pelanggaran HAM. Hal ini terlihat dari sudah 8 tahun Komnas HAM berdiri, tapi tidak ada satu pun masalah yang diselidiki Komnas HAM yang dibawa ke pengadilan. Misalnya hasil penyelidikan Komnas HAM di Tim-tim dan Aceh yang tidak ada tindak lanjutnya. Karena itu, saat ini dibutuhkan public pressure agar isu-isu HAM mendapat perhatian khusus pemerintah. “Pressure public yang sangat efektif adalah melalui media massa,” ujarnya.
Dalam dialog itu, Hasballah pun mengatakan bahwa banyak tokoh-tokoh Aceh yang berharap agar segera ada institusi yang punya otoritas penuh untuk mencari penyelesaian Aceh. Selain langkah itu masih lambat, orang-orang pemerintah justru berbicara sendiri-sendiri dan sepertinya tidak ada koordinasi.
Hasballah mencontohkan ketika Menteri Koordinator Politik, Sosial dan Keamanan Susilo Bambang Yodoyono menekankan pentingnya dialog, di lapangan justru terjadi sweeping. Ketika Yudhoyono mengusulkan agar masalah diselesaikan secara politik dengan melibatkan banyak pihak, tindakan di lapangan tak menunjukkan tanda-tanda bahwa pemerintah solid dengan sikapnya. Malah ada menteri yang komentarnya mengganggu proses dialog. “Ini menimbulkan kekuatiran masyarakat Aceh,” ujarnya.
Mengenai pembentukan Komisi Nasional HAM Aceh, ia mengaku belum tahu dan belum mengerti ide ini. Tapi menurut dia, komisi ini harus mendapat otoritas untuk melakukan langkah-langkah penyelesaian masalah Aceh. Komisi ini pun harus independen, dan unsur-unsurnya bukan saja aparat pemerintahan tetapi juga tokoh-tokoh masyarakat Aceh dan non-Aceh yang peduli.
Dia mengambil contoh ketika Jeda Kemanusiaan diterapkan. Orang-orang GAM saat itu malah menyebutkan nama Baharuddin Lopa dan Mari’e Muhammad sebagai dua tokoh yang bisa diberi mandat. Padahal keduanya bukan orang Aceh. Hal ini berarti dua tokoh itu dipercaya rakyat Aceh. Menurut mantan menteri itu, hal ini suatu fenomena yang bagus. “Tetapi sayang kita tidak punya respon yang cepat,” ujarnya pula. Ira