Begitu sampai di Polda, Tata langsung masuk ke ruang Ditserse Polda dan menjalani pemeriksaan selama empat jam. Ia diperiksa karena didakwa melanggar pasal 216 KUHP, yaitu menghalang-halangi polisi dalam melakukan penyelidikan. Karena pelanggaran ini, ia diancam hukuman kurungan empat setengah bulan dan denda Rp 9 ribu.
Namun, Assegaf mempertanyakan alasan pemanggilan polisi. Tudingan terhadap kliennya itu dianggapnya tidak beralasan. Menurut dia, istilah menghalang-halangi itu secara hukum diartikan menghalang-halangi secara fisik. Misalnya tidak membukakan pintu atau menghentikan. Padahal, ketika polisi melakukan penyelidikan pada 15 Januari lalu itu, Tata sudah berada di Singapura sejak lebaran. Bagaimana bisa disebut menghalang-halangi sedang yang bersangkutan tidak ada, kata Assegaf.
Tapi, baik Felix maupun Assegaf menolak memberikan keterangan soalo alasan Tata pergi ke Singapura. Mereka juga membantah bila kepergian Tata ke luar negeri itu dimaksudkan untuk menghindari penyidikan polisi. Asegaf bahkan menyatakan tidak tahu alasan Tata. Saya jangan ditanya serinci itu. Silakan tanya kepada yang bersangkutan, kata Assegaf.
Kepada wartawan Felix menerangkan bahwa Tata disodori 29 pertanyaan yang semua dijawab Tata. Ibu Tata menjawab pertanyaan dengan profesional, jelas, gamblang, dan santai, kata Felix. Beberapa pertanyaan polisi misalnya tentang apakah Tata mengetahui adanya ruang bawah tanah di rumah Tommy, kapan terakhir mengontak Tommy, dan pertanyaan seputar kehidupan Tata di masa lalu.
Dalam pemeriksaan itu, Tata mengaku telah lama mengatahui adanya ruangan bawah tanah itu. Tapi polisi tak pernah menanyakan hal itu kepada Tata. Jadi, itu bukan salah Tata, ujar Assegaf. Dengan alasan keselamatan bayi, waktu Tata hamil, ia meminta ruang bawah tanah yang berada di bawah ruang bayi itu ditutup. Bisa-bisa bayi mereka jatuh di ruangan itu, ujar Felix. Karena itu, ruangan itu ditutup sejak Tata keluar dari rumah sakit.
Menurut Felix, Tata juga mengatakan bahwa ruangan bawah tanah sudah ada sejak dia pertama kali datang ke rumah di jalan Cendana 12 itu. Namun Tata menolak ruangan itu dinamakan bunker. Soalnya, ruangan itu digunakan sebagai gudang tempat menyimpan peralatan balap mobil Tommy.
Felix juga diberondong wartawan soal hak dia sebagai pengacara Tata sementara dirinya menjadi tersangka dalam kasus yang sama. Namun ia berkelit dengan mengatakan bahwa hukum Indonesia berpegang pada asas praduga tak bersalah.
Kata Felix, proses pemberian kuasa Tata bermula dari penyitaan rumah Cendana 12 oleh Kejaksaan Agung. Hak kuasa itu dipercayakan kepada saya, ujarnya. Tata meminta dirinya bertanggung jawab terhadap kemungkinan adanya kerusakan rumah itu jika terjadi sesuatu. Karena itu Felix merasa wajar bila mempertanyakan surat pembongkaran dari pengadilan.
Ia pun menilai bahwa pemeriksaan polisi atas dirinya hanya karena perbedaaan persepsi saja. Padahal, kata Felix, dirinya dan polisi mempunyai tujuan sama, yaitu sama-sama mencari kebenaran. Ia pun mengaku siap dipanggil lagi Senin mendatang. Saya akan kooperatif, saya akan datang. Ini hanya bahasa etika saja, kata dia tanpa menjelaskan maksudnya.
Hasil pemeriksaan Tata juga disiarkan polisi kepada wartawan Jumat siang (26/1). Menurut Kaditserse Polda Metro Jaya Kombespol Harry Montalalu, Tata baru mengetahui adanya bunker itu setelah dia kawin dengan Tommy. Tata memasuki rumah itu sudah dalam keadaan begitu, ujarnya. Namun, hasil pemeriksaan itu menurut Harry, baru dapat disimpulkan besok. Dia mengaku belum bisa mengomentari karena pemeriksaan masih dalam tahap awal.
Sementara itu, menanggapi pendapat pengacara Tata yang menyatakan bahwa Tata tidak menghalang-halangi penyidikan, Harry menjawab bahwa hal itu sudah biasa diucapkan oleh seorang kuasa hukum terhadap kliennya. Padahal, kata Dia, menurut bukti Tata menghalangi pembuktian adanya bunker dan tidak pernah memberitahu polisi. Itu sudah salah satu unsur menghalangi, ujar Kaditserse. (Istiqomatul Hayati/ Erwin)