Arif, orangtua Br. Norma Irawan, mahasiwa Universitas Atmadjaya yang tewas tertembak pada Peristiwa Semanggi 13 November 1998, juga meminta Pansus bisa menepis stigma bahwa apa yang diinginkan mahasiswa sampai mau turun ke jalan bukanlah ingin kekuasaan tapi lebih sebagai kegelisahan intelektual kaum muda. Dan, lanjut dia, Pansus harus bekerja dengan paradigma korban semanggi merupakan pahlawan reformasi dan bukan sebagai perusuh yang harus dihadapi dengan timah panas.
Permintaan senada juga diungkapkan oleh ibunda Yun Hap. Sambil terisak dan dengan nada bicara tersendat-sendat dia mengatakan, “sejak peristiwa penembakan itu keluarga kami sudah melapor kemana-mana, namun hingga saat ini tak satu pun yang membuahkan hasil.” Untuk itu, lanjut dia, pihaknya sangat menaruh harapan agar Pansus ini menyibak tabir misteri pelaku penembakan anaknya.
Agar proses hukumnya berjalan adil, Paguyuban mengusulkan agar Tragedi Semanggi ini diselesaikan melalui pengadilan HAM Ad Hoc. “Jangan sampai nantinya pihak yang berwenang mengatakan alat bukti untuk pemeriksaan itu kurang sehingga pengusutannya berjalan di tempat,” ujar Priyadi.
Menanggapi desakan dari paguyuban itu, Priyo Budi Santoso, salah satu anggota Pansus dari FPG mengatakan bahwa Pansus akan bekerja secara profesional dan fair. Pihaknya, lanjut dia, nantinya akan memberikan rekomendasi politik dan masalah hukumnya akan diserahkan ke lembaga yang berwenang. “Kami juga berharap semua pihak mau memberikan keterangan yang kami butuhkan. Jangan sampai ada yang menyembunyikan fakta-fakta. Begitu juga kepada keluarga korban kami harapkan tidak terlampau melebih-lebihkan faktanya,” tegas dia.
Dalam acara dengar pendapat itu selain hadir beberapa anggota Pansus, tampak hadir sebagai undangan adalah wakil dari keluarga korban yang didampingi oleh Karlina S. Leksono dari Tim Relawan untuk kemanusiaan dan beberapa mahasiswa dari masing-masing perguruan tempat korban. (Fajar WH)