Menurut Joko, Tim Komnas HAM waktu itu masih bekerja berdasarkan Keppres nomor 50 tahun 1993. Dalam Keppres tersebut kewenangan Komnas HAM masih sebatas pengamatan, sementara kewenangan penyelidikan baru diatur setelah kejadian penembakan itu, yaitu melalui UU nomor 39 tahun 1999.
Joko yang didampingi dua anggota Komnas HAM yang lain, Sugiri dan BN Marbun, juga mengungkapkan tentang kesulitan mereka dalam hal kesaksian. Sebanyak 28 saksi mahasiswa Kasus Trisakti tidak mau memberikan kesaksian karena diancam. Sayangnya, kata dia, mereka tidak mau mengatakan siapa yang mangancam.
Berkenaan dengan kemungkinan dilangsungkannya pengadilan HAM, Komnas HAM menyarankan DPR untuk memerintahkan penyelidikan kepada Komnas HAM. Sesuai UU nomor 26 tahun 2000, pengadilan HAM bisa digelar jika ada rekomendasi dari DPR. Tapi, sesuai pasal 7 UU tersebut, harus terdapat bukti tentang adanya serangan yang meluas atau sistematik.
Tjetje Hidayat Patmadinata, anggota Pansus, pesimis tentang hal tersebut. Kemampuan anggota DPR sebagai lembaga politik sangat terbatas. Menurut dia, DPR bukan lembaga intelijen yang mampu mengorek fakta. “Selama ini, baru ada dugaan kuat ada pihak ketiga yang menunggangi,” kata Tjetje.
Hal senada juga diungkapkan ayah korban Semanggi I, Asih Widodo, ayah Sigit Prasetyo. Ia tidak yakin Pansus ini akan berhasil mengungkapkan fakta, karena DPR sebagai lembaga politik akan terbentur pada hal-hal yang bersifat politis. Menurut Widodo, ini bisa dilihat kegagalan DPR dalam mengungkap Kasus 27 Juli. “Padahal PDI-P menguasai DPR,” kata dia. (Anggoro)