Menurut Syaiful, ada beberapa kendala utama yang harus segera diputuskan pemerintah. Pertama, menyangkut permintaan investor agar harga gas bumi diputuskan pemerintah untuk jangka waktu 10 tahun. Tidak seperti keputusan pemerintah saat ini, di mana harga gas bumi diputuskan untuk tiga tahun. Bagi investor, jelas Syaiful, penetapan harga gas bumi untuk tiga tahun tidak cukup menarik, karena tidak cukup memberikan kepastian usaha.
Permasalahan kedua, menurut Syaiful, adalah status PKT yang masih tergabung dalam holding company di bawah PT Pupuk Sriwijaya (Pusri). Padahal Pusri sendiri juga produsen seperti PKT, di samping sebagai perusahaan pengontrol. Uniknya, kata dia, produksi PKT ternyata lebih tinggi daripada Pusri. Para investor menginginkan PKT segera di spin off (dipecah) dari PT Pusri, kata Syaiful.
Saat ini, jelas Syaiful, ada tiga perusahaan berskala internasional yang sudah menyatakan minatnya untuk menyertakan modalnya di PKT. Tetapi dari tiga perusahaan tersebut, hanya satu yang telah menyampaikan keinginan melanjutkan pembicaraan sampai pada tahap MoU. Ia tidak mau merinci nama perusahaan tersebut. Yang pasti perusahaan tersebut berasal dari Eropa.
Mengenai target go public, Syaiful optimis, PKT mampu melakukannya bulan Mei 2001. Untuk itu, perusahaan pupuk itu tengah melakukan negosiasi penetapan harga gas dengan pemerintah, di samping mengikuti prosedur-prosedur go public yang berlaku, seperti penunjukan legal advisor, appraisal company, dan perusahaan akuntan publik.
Sebagai catatan, pemerintah telah mengeluarkan SK Menkeu Nomor S-04/MK.19/2001 tanggal 7 Februari 2001 yang meminta PKT segera masuk ke pasar modal. Tujuan utama privatisasi PKT adalah agar efisiensi lebih mudah dicapai. (Rifat Pasha)