Menurut Lopa, jika hakim menghentikan kasus Soeharto dengan alasan Soeharto sakit, itu tidak dapat dibenarkan secara hukum. Seharusnya dari dulu hakim segera memutuskan untuk tetap memproses perkara Soeharto sambil merawat kesehatannya. Dari hakim di pengadilan dulu kan memutuskan untuk menutup perkara dengan alasan Soeharto sakit stroke permanen dan tidak akan sembuh, itu pesimistis namanya, kata Lopa.
Untuk itu, kata Lopa, Soeharto memang perlu menjalani perawatan hingga sembuh namun ia mempertanyakan mengapa harus negara yang menanggung biaya perawatannya. Sebab, status Soeharto saat ini sudah bukan tersangka lagi, dan tidak lagi menjalani tahanan kota. Sementara penuntutan terhadap Soeharto oleh jaksa penuntut Muchtar Arifin tidak dapat diterima, sesuai putusan MA.
Kuasa hukum Soeharto, M. Assegaf, kepada TEMPO Interaktif via telepon mengatakan bahwa pernyataan Lopa tersebut telah memasuki wewenang penegak hukum. Sebab, menurut dia, posisi Lopa saat ini adalah sebagai eksekutif yang tidak berhak mencampuri wewenang penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung.
Seharusnya, kata dia, Lopa sebagai Menkeh hanya memfasilitasi penegakan hukum, seperti menyediakan hakim yang bagus, tempat pengadilan yang layak, rumah tahanan yang layak, dan lain-lain. Jadi beliau tidak boleh menilai keputusan dari hakim-hakim, termasuk juga presiden. Karena ada institusi MA yang menilai keputusan hakim. Dan jika itu dilakukan oleh Lopa, itu satu hal yang sangat tabu, kata Assegaf.
Assegaf tidak mempermasalahkan kliennya dapat dituntut apa tidak. Yang jadi masalah bagi dia adalah kondisi kesehatan Soeharto yang menyebabkan ia tidak layak dituntut. Pengacara ini juga mempersilahkan jaksa penuntut untuk melakukan penuntutan terhadap kliennya jika sudah sembuh. Ini kan sesuai keterangan dokter waktu di pengadilan, jadi bukan saya yang mempertimbangkan, kata dia. (Nurakhmayani)