Program pembangunan yang dilaksanakan saat ini, menurut dia, seringkali tidak mengikutsertakan partisipasi masyarakat. Baik partisipasi dari masyarakat lokal maupun masyarakat luas, terutama pada program transmigrasi di daerah-daerah.
Dalam proses transmigrasi, hukum migrasi yang seringkali terjadi adalah menyeleksi orang-orang yang akan pindah secara positif. Artinya, program ini hanya untuk orang-orang yang memiliki tekad untuk mau merantau demi mendapatkan kerja yang lebih baik. Tapi bukan untuk mereka yang ingin tinggal di daerah tersebut atau bahkan memiliki pendidikan yang baik pula. “Ini adalah spirit orang-orang yang merantau,” kata dia.
Menurut dia, para pendatang umumnya memiliki kehidupan ekonomi yang lebih baik. Perbedaan ini semakin menyolok dengan cara-cara penempatan transmigrasi, seperti membuat kantong-kantong masyarakat. Kondisi inilah yang seringkali menimbulkan gesekan-gesekan dalam masyarakat. Akibatnya, ketidakpuasan pun mudah sekali muncul ke dalam konflik-konflik masyarakat.
Celakanya, ketika gesekan-gesekan terjadi, kata dia, tidak ada institusi-institusi yang dapat meredamnya. Ini mengakibatkan terjadinya penumpukan-penumpukan ketidakpuasan dari masyarakat itu sendiri. Karena itu, selain menggunakan pendekatan multicultural citizenship, pemerintah juga harus mempedulikan mekanisme hubungan masyarakat lokal. Dia pun mencontohkan, bentuk-bentuk ikatan budaya seperti pengikat bisa menjadi salah satu alternatif. Di samping juga menggelar forum-forum dialog. (A.M. Fikri)