Ketua Umum ICM Adi Sasono menegaskannya kepada wartawan disela acara mudzakarah Orwil ICMI NTB yang berlangsung di ponpes Nurul Haramain Narmada Kabupaten Lombok Barat, Rabu (7/3) siang tadi.
Menurutnya, kalau dibanding pada masa akhir jabatan presiden BJ Habibi, maka nilai rupiah sudah merosot kembali 40 persen dari kurs terakhir Rp6.300. Kalau impor beras yang lalu sudah ditekan dari 5,2 juta ton menjadi 0,2 juta. Sekarang terjadi impor beras menjadi 2,5 juta ton. Dulu juga pernah berhasil menekan kemiskinan absolut dari 39,1 persen menjadi dibawah 20 persen. Sekarang kemiskinan meningkat lagi karena bertambahnya jumlah penganguran.
Ia mengatakan perlunya MPR segera bersidang melihat adanya ancaman disintegrasi bangsa yang lebih parah yang menimbulkan korban kemanusiaan. Lebih dari 9.000 orang korban selama setahun terakhir ini. Padahal korban ini tidak bisa didaur ulang. Adanya ancaman disintegrasi yang lebih parah. Karena itu, hal ini bisa menjadi pertimbangan yang cukup untuk mengadakan sidang MPR guna menilai. Sebab kalau dibiarkan, biaya sosial ekonominya akan terlalu mahal buat bangsa Indonesia.
Adi Sasono mengemukakan memang benar kita harus tetap rukun, tetap berlaku. Tetapi tidak rukun untuk keburukan pemerintahan. Tidak boleh menghalalkan yang haram, tidak boleh membenarkan yang batil. ''Kita bersekutu dalam kebenaran. Kita bersekutu tidak untuk hal yang mungkar,'' ujarnya.
Karena itu, sikap ICMI yang dipimpinnya dikatakan sangat jelas. Ingin mekanisme demokrasi konstitusional harus tetap dijaga. Apapun persoalannya, kita harus membangun budaya politik yang beradab. Tidak boleh ada tindak kekerasan politik. Kita harus menyerahkan kepada wakil rakyat, yang sudah dipilih secara demokratis melalui pemilu yang jujur dan adil. Dan pesan dari keadaan sekarang sudah terang benderang untuk mereka yang punya hati nurani dan akal sehat. Tidak boleh perkara ini ditunda-tunda. Sebab kunci pertumbuhan ekonomi, kunci penyelamatan negara dari ancaman disintregrasi pada faktor kepemimpinan nasional. Tanyakan kepada wakil rakyat yang telah dipilih di MPR.
Masalah sekarang adalah masalah eksekutif, bukan legislatif yang memilih eksekutif. Jadi legislatiflah yang harus menyoal kepemimpinan eksekutif. Yang diamanati MPR adalah eksekutif. Kita tidak boleh mengada-ada bahwa seolah-olah ini konflik antar elit. Memang ada faktor itu, tapi akarnya adalah karena faktor kepemimpinan nasional yakni eksekutif tidak mampu menjalankan tugasnya dengan benar. Itu intinya. Itu yang harus dibahas oleh lembaga legislatif.
Berapa lama waktu yang diberikan kepada Gus Dur untuk mundur ? Ada beberapa opsi, pertama melalui jalur memorandum tiga bulan ditambah dua bulan lagi. Pertanyaannya apakah bangsa kita masih mampu menanggung resiko sosial ekonomi dari berlarut-larutnya masalah yang ada yang akarnya adalah ketidak mampuan kepemimpinan nasional. Tetapi sekarang dalam keadaan gawat, khususnya yang terjadi di Sampit.
Kalau pendatang sudah diusir dengan kekerasan, pemerintah gagal melindungi warga negara, ada ratusan yang meninggal, maka tindakan pengungsian seakan memberikan pembenaran secara defacto bahwa kalau kita berkelompok dalam jumlah besar, kita membakar kita membunuh membantai orang dengan biadab, boleh toh nanti diungsikannya kaum pendatang. Jalan pikiran ini akan dipakai di tempat lain. Negeri kita nanti akan bubar kalau begitu. Tidak boleh ada istilah pendatang atau istilah setempat. Semua diberikan kedudukan yang sama. Dan tidak boleh atas nama ketidak adilan misalnya orang membunuh, membantai membakar. Itu tindakan biadab. Pemerintah harus sedari dini mencegahnya. Tidak boleh membiarkan sampai ratusan orang meninggal. Bangsa kita dikenal bangsa yang biadab karena gambar orang yang ditayangkan memotong kepala dan ditenteng-tenteng. Apa itu wajar.
Kegagalannya karena kita tidak menangani secara dini. Dan masalah ini sangat serius bisa menjalar kemana-mana. Otonomi daerah tidak boleh menjadi otonomi kedaerahan. Dan ini membubarkan kesepakatan negara bangsa. Jadi ini cukup alasan untuk mengadakan sidang MPR dan meminta pertanggung jawaban dari presiden karena dia yang diberi tanggung jawab amanat sebagai mandataris. (Moehammad S. Khafid)