Di Desa Banjar Dewa, salah satu desa yang bersengketa, misalnya, karena warga tetap berkeras menolak pemindahan, aparat membongkar paksa rumah-rumah warga. “Hingga saat ini, setidaknya sudah 60-an rumah yang sudah dibongkar dalam satu bulan terakhir,” kata Agus Komarhaen Revolusi, Kepala Divisi Pendidikan dan Informasi Dewan Mahasiswa Lampung (DML) kepada TEMPO Interaktif di Bandarlampung, Jum’at (9/3).
Mirisnya, ketika DML mengadakan investigasi ke lokasi pemindahan warga, ternyata mereka terkatung-katung. Warga dibawa ke sebuah desa di Kecamatan Mesuji yang sangat terpencil. Di sana warga hanya bisa menumpuk bahan-bahan bangunan yang berasal dari rumah-rumah mereka yang sudah dibongkar. Mereka tinggal di sebuah posko yang dibangun perusahaan, mirip penampungan pengungsi. “Bagaimana mau membangun rumah, lah lokasinya saja tidak jelas,” ungkap Agus.
Sebenarnya, hanya benar-benar ingin pindah hanya 3 Kepala Keluarga (KK). Mereka ini,menurut Agus, memang sudah emndapat sejumlah uang dari perusahaan, dengan perjanjian mereka harus bias mengajak ratusan KK yang masih ada di lokasi udah pindah. “Jadi kami menyimpulkan perusahaan hanya ingin semua warga segera keluar lokasi saja. Perkara di luar mau apa, itu diurus belakangan,” sesal dia.
Data DML menyebutkan di Desa Bandar Rejo Dewa hingga saat ini masih bertahan 385 KK, dan di Desa Banjar masih tersisa 200 KK. Sedang di empat desa lainnya, yaitu Pagar Agung I, Pagar Agung II, Karya Agung, Dewa Agung, Tanjung Makmur, hingga kini sudah kosong dari warga yang menduduki lahan. (Fadilasari)