Eurico didakwa telah melangar pasal 160 KUHP tentang penghasutan. Selain itu, terdakwa juga dituntut dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 junto Pasal 55 ayat (1) ke-2 tentang penyimpanan senjata api tanpa izin; serta dakwaan ketiga dengan pasal 212 KUHP tentang tindakan melawan petugas negara, dalam hal ini polisi. Tindakan ini dilakukan Eurico saat kunjungan Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri ke Atambua pada 24 September tahun lalu.
Nulis Sembiring menyatakan bahwa terdakwa, sesuai dengan kesaksian dari para saksi antara lain: Manuel Kastro, Antonio Dos Santos, Alberto, Nemineo Lopez De Carvalo dan beberapa saksi dari para mantan anggota milisi serta petugas di Polres Belu, secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan melanggar hukum seperti didakwakan.
Jika nantinya tuntutan satu tahun penjara ini dikabulkan oleh majelis hakim, maka Eurico hanya akan menjalani hukuman kurang lebih separuhnya. Hal itu mengingat proses pengadilannya sendiri saat ini telah memakan waktu sekitar lima bulan. Selama itu pula eurico berada dalam status tahanan. Tepatnya mulai 5 Oktober 2000, yakni sejak Eurico ditahan di Mabes Polri. Pada 20 Februari lalu status Eurico berubah menjadi tahanan rumah.
Menanggapi hal ini, Eurico mengaku menerima dan menyerahkan proses hukum pada majelis hakim. Dia menyatakan bahwa proses hukum ini adalah usaha untuk mengorbankan dirinya. Sementara itu, penasehat hukum Eurico, Suhardi Somomoeljono, meminta kepada hakim waktu empatbelas hari untuk menyiapkan pembelaannya. Waktu selama itu dibutuhkannya dengan alasan Eurico saat ini sedang dalam proses pemeriksaan oleh Kejaksaan Agung. Oleh Kejaksaan Agung Eurico dijadikan tersangka dalam kasus pelanggaran HAM di Timor Timur pasca jajak pendapat September 1999. (Yostinus Tomi Aryanto)