Wiranto hadir dalam rapat Pansus Tri Sakti, Semanggi I-II dalam kapasitas sebagai mantan Panglima TNI pada saat kejadian berlangsung. Nama Wiranto disebut-sebut oleh mantan Kapolri, Jendral Dibyo Widodo. Dibyo mempermasalahkan bahwa Wiranto lebih menekankan masalah politis dibanding teknis dalam penyelidikan kasus-kasus penembakan itu.
Dalam rapat itu, sebelum sesi tanya jawab, Wiranto meminta untuk memutar rekaman video tentang kerusuhan-kerusuhan yang berkaitan dengan demonstrasi yang terjadi saat itu. Rekaman kejadian pada 1998 itu diawali dengan judul, “Demonstrasi Mengarah ke Kebrutalan” dan diakhiri dengan pertanyaan Siapa yang Bertanggung Jawab.
Mengenai istilah kebrutalan itu, dipertanyakan oleh anggota Pansus Lomban Toruan. Ia menganggap istilah itu mendeskriditkan demonstran dan berpihak pada penguasa. “Dengan menggunakan kata kebrutalan itu sudah memihak pada kekuasaan, bukan pada rakyat,” lata anggota DPR dari Fraksi PDI-P ini.
Bahkan secara satire, Ketua Pansus Panda Nababan mempertanyakan mengapa penjarahan-penjarahan yang diakibatkan demonstasi itu direkam, sementara penjarahan-penjarahan oleh konglomerat tidak direkam. Dengan setengah berkelit, Wiranto berargumen dai menggunakan kata brutal karena ada demonstrasi yang dilakukan tidak brutal. Alasan ini banyak dicibir oleh mahasiswa yang juga datang pada rapat tersebut.
Sementara itu, sebelum Wiranto memberikan keterangan, Dokter Mun’im Idris, bagian forensik Fakultas Kedokteran UI, dipanggil untuk kedua kalinyan oleh Panitia Khusus itu. Dalam kesempatan tersebut, Mun’im dikritik oleh beberapa anggota Pansus karena laporan visumnya terdapat perbedaan waktu yang tidak signifikan dalam konteks kejadian. Misalnya, waktu kematian Heri Hartanto, mahasiswa Tri Sakti yang menjadi korban kasus 12 Mei 1998. Dalam laporan itu disebutkan, waktu kematiannya sekitar pukul 12:32 sampai 16.22. Sementara kejadian penembakan, setelah pukul 17.00.
Dokter Mun’im Idris kemudian membuat ralat laporan itu tanggal 30 Maret 1999 di mana waktu kematiannya berkisar pukul 12:32 sampai 20:22. “Itu saya kira harus diragukan keahliannya,” kata Manase Malo dari Fraksi Demokrasi Kasih Bangsa (F-DKB).
Menanggapi keraguan para anggota Pansus, Mun’im berkilah bahwa hal itu bisa terjadi karena banyak faktor, di antaranya faktor suhu ruang yang dingin tempat mayat di simpan. Di samping itu, karena kondisi pemeriksa sendiri yang lelah. Pada saat kejadian, Dokter Mun’im mengaku tidak datang ke tempat kejadian, sehingga tidak bisa mendeskripsikan lebam mayat secara tepat.
Sementara, menanggapi adanya isu yang mengatakan Mun’im mendapat intimidasi dari pihak TNI, ia dengan tegas menyangkalnya. “Kalau tekanan (dari TNI) tidak pernah ada,” katanya. (Anggoro Gunawan)