Menurut dia, laporan KPKPN tersebut masih berupa pengumpulan data. Artinya, seorang pejabat dimintai untuk mengisi formulir, dan kemudian dipublikasikan.
Mengenai kemungkinan BPK untuk melakukan audit atas laporan tersebut, ia menyatakan kemungkinannya kecil. Alasannya, wewenang serta tugas BPK dan KPKN berbeda. BPK hanya berwenang mengaudit dan memeriksa institusi pemerintahan. Sedang KPKPN bertugas mengaudit dan memeriksa kekayaan pejabat negara.
Selain itu, BPK hanya bisa melakukan pemeriksaan jika dalam laporan kekayaan pejabat tersebut ada indikasi penyelewangan yang berkaitan dengan keuangan negara. Sejauh hal itu tidak terjadi, BPK tidak bisa melakukan tindakan apa pun.
Pemeriksaan kembali dari BPK pun hanya mungkin terjadi jika terdapat gugatan dari masyarakat atau pihak-pihak tertentu yang meragukan keabsahan laporan dari KPKPN. Jika tidak, laporan tersebut dapat dianggap valid.
Mengenai masalah hibah dalam kekayaan Presiden Abdurrahman Wahid dalam laporan KPKPN, Bambang menyatakan, selama dana tersebut diterima sebagai pribadi yang bukan pejabat negara atau diberikan tidak dalam kerangka seseorang menjabat kedudukan tertentu, maka hal itu sah-sah saja. Pernyataan ini sekaligus membenarkan pernyataan Ketua BPK beberapa waktu lalu bahwa secara pribadi presiden boleh menerima hibah. Bamabang menegaskan, masalah hibah tidak diatur secara resmi dalam perundang-undangan keuangan negara Indonesia. (Rif’at Pasha)