Mulyo menjelaskan, pihaknya akan menunggu terbentuknya hakim dan jaksa dalam peradilan ad hoc. “Nanti kalau sudah terbentuk, semua berkas itu baru kita limpahkan,” kata dia. Kepala Penerangan Kejaksaan ini membantah ada tersangka baru yang akan ditetapkan Kejaksaan Agung dalam kasus yang terjadi tahun 1999 tersebut. Tersangka dalam kasus tersebut tetap berjumlah 22 orang seperti yang telah diumumkan oleh Jaksa Agung tahun lalu. Berkas perkara yang akan dilimpahkan berjumlah 12 berkas untuk ke-22 orang tersebut.
Salah seorang anggota Tim Advovasi HAM TNI Polri, Yan Djuanda Saputra, yang dihubungi secara terpisah, menanggapi positif dengan niat Kejaksaan untuk segera melimpahkan berkas perkara tersebut. “Terus terang kami senang sekali. Berarti ada kepastian hukum terhadap klien kami,” ujarnya.
Keluarnya Keppres nomor 53/2001 tentang pembentukan peradilan HAM ad hoc dan rencana kejakasan untuk melimpahkan berkas perkara ke pengadilan, kata Djuanda, dapat dijadikan indikasi bagi dunia internasional bahwa Indonesia mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Djuanda berharap, para hakim dan jaksa yang akan menangani para tersangka pelanggaran HAM Tim-Tim itu adalah orang-orang yang berkualitas, sehingga hasil putusan mereka bersifat objektif.
Djuanda tetap membantah bahwa telah terjadi pembunuhan massal di Tim-Tim. Menurut dia, Komisi Tinggi HAM PBB sendiri tidak menemukan adanya bukti pembunuhan massal tersebut. Ia juga membantah adanya crimes against humanity atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Alasannya, ada empat syarat untuk menetapkan hal itu, di antaranya adalah harus ada tindakan atau perbuatan yang dilakukan pada suatu daerah yang luas. Selain itu, adanya bukti pembunuhan berencana dan sistematik yang sengaja dilakukan di suatu daerah tertentu. “Dalam kasus ini, kan syarat tersebut tidak terpenuhi,” tandas Djuanda. (Nurakhmayani)