Saat itu, Dramastuti yang mantan wartawan Suara Pembaruan ini, ia dan dua kawannya sedang menuju ke Kampus Atmajaya. Di jalan, mereka bertemu dengan sepasukan tentara dari Kodam Jaya yang dipimpin Kapten Denny. “Mulanya kami hanya wawancara yang ringan-ringan saja sehingga dia tidak curiga,” paparnya. Kapten Denny, digambarkan Dramastuti, memakai baju loreng dengan kaca mata ray bain.
Ketika mereka berbincang santai, tiba-tiba datang seorang tentara dengan pakaian coklat tua polos menghadap dan melapor kepada Denny tentang penyerbuan terhadap pasukannya yang berada di Gedung BRI. Mendapat laporan seperti itu, Denny bertanya,”sepuluh orang cukup ?” Prajurit yang datang itu diam saja. Pertanyaan serupa diulang lagi oleh Denny, dan prajurit itu tetap diam. Akhirnya pasukan yang tadinya bersantai, berdiri dan berbaris di depan Denny. “Kalian bawa peluru tajam tidak ?” tanya Denny. “Bawa,” jawab mereka. Pertanyaan serupa diulang lagi,dan jawaban serupa pun keluar dari mulut mereka. Setelahnya, papar Dramastuti, mereka bertiga mengikuti pasukan itu. Lama kelamaan mereka kehilangan jejak. Tetapi Dramastuti yakin mereka menuju arah Gedung BRI.
Berkaitan dengan paparan Dramastuti tadi, Agusman St. Basa (FPG) mengusulkan untuk memanggil Kapten Denny pada Pansus berikutnya. Priyo Budi Santoso, juga mengusulkan agar memanggil lagi beberapa perwira yang yang datang pada Pansus yang telah lalu.
Rapat Pansus hari ini juga menghadirkan Usman, aktivis komisi untuk orang hilang (Kontras). Usman mengungkapkan, pihak Polisi Militer yang memeriksa kasus Trisakti, Semanggi I-II, lebih banyak menekankan ke kasus Trisakti karena dianggap yang terlibat polisi. Sementara dalam kasus Semanggi, tentara diindikasikan kuat terlibat. “Dari hasil uji balistik di Montreal Kanada, proyektil itu berasal dari senjata jenis M-16 A1 atau SS-1, tetapi lebih dominan ke M-16A1,” papar aktivis Kontras ini. Padahal,menurut Usman, yang memiliki M16 A1 hanyalah TNI.Usman sendiri ikut serta dalam pengujian balistik ke Kanada itu.
Di samping mantan wartawan dan aktivis Kontras tadi, Pansus ini juga mengundang Romo Sandyawan Sumardi, Karlina Leksono (Tim Relawan untuk Kemanusiaan), dan Munir dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Rapat yang dimulai pukul 14.15 ini dipimpin oleh Panda Nababan.
Munir banyak menyorot kinerja dewan yang sebaiknya diarahkan ke masalah kekebalan hukum para pelaku kejahatan HAM. “Kami khawatir pola kerja DPR mengarah ke satu titik strategis untuk menghapus imunity tersebut,” ujar Wakil Ketua YLBHI ini. Munir menganjurkan agar DPR bisa memutus mata rantai kekebalan hukum yang ada pada personil militer dan pejabat pemerintah. Hirarki hukum militer,menurutnya, membuat celah bagi pemberi perintah untuk melarikan diri dari tanggungjawab. (Anggoro Gunawan)