Djoko menjelaskan, KPP HAM Papua yang bekerja sejak tanggal 5 Febuari – 5 Mei 2001 telah memeriksa dan meminta keterangan dari saksi korban sebanyak 51 orang. Mereka terdiri dari para korban laki-laki dan perempuan anggota Brimob Irian Jaya, anggota polisi dan saksi ahli. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara sistematis itu berupa penyiksaan, pembunuhan kilat, penganiayaan, perampasan kemerdekaan, perampasaan kebebasan fisik secara sewenang-wenang terhadap kelompok sipil.
Selain itu, dari hasil penyelidikan, ditemukan adanya bentuk perbuatan dan pola kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan itu berupa penganiayaan berdasarkan jenis kelamin, ras dan agama. ”Semua korban mengalami tindakan diskriminasi atas dasar ras dan agama. Namun korban perempuan mengalami tindakan diskriminasi berganda,” kata Djoko. Perempuan, selain mengalami penganiayaan, mereka juga mengalami bentuk tindakan lain, seperti makian, perbuatan fisik lainnya.
Pada kesempatan itu, KPP HAM Papua menyimpulkan bahwa seluruh rangkaian kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut merupakan tanggung jawab Kepolisian Daerah Irian Jaya, satuan Brimob Polda Irian Jaya, Polres Jayapura dan Polsek Abepura. Untuk itu, KPP HAM menyampaikan rekomendasi kepada Kejaksaan Agung untuk melakukan penyidikan sampai pada tingkat penuntutan di Pengadilan Hak Asasi Manusia terhadap para pelaku yang diduga terlibat pada peristiwa itu.
Selain itu, Komnas meminta agar Kejaksaan Agung membentuk tim penyidik Ad Hoc untuk kasus Abepura tersebut. Mereka juga mendesak kepada pemerintah agar segera mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) mengenai perlindungan saksi dan korban sebagaimana tercantum pada pasal 34 Undang Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Selain itu, Komnas HAM mendesak agar pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah mengenai konpensasi, restitusi dan rehabilitasi seperti yang tercantum pada pasal 35 ayat 3 Undang Undang Nomor 26 tahun 2000.
Komnas HAM juga akan menyampaikan rekomendasi kepada DPR dan pemerintah untuk pengadilan HAM Ad Hoc terhadap kasus-kasus yang terjadi sebelum diundangkannya UU Nomor 26 tahun 2000 itu. (Nurakhmayani)