Menurut Yusril, adanya beda penafsiran antara DPR dan presiden soal Tap itu, MA dapat memberikan pendapat hukumnya. Dalam Undang-Undang Nomor 14/1985 tentang MA disebutkan bahwa lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk memberikan pendapat hukum kepada lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara, baik diminta maupun tidak diminta.
Namun, kata Yusril, pendapat hukum yang diberikan MA bukanlah suatu putusan yang mengikat kedua lembaga itu. Karena itu, pendapat hukum hanya bersifat arahan saja kepada kedua lembaga itu.”Sifatnya fatwa dan itu tidak mengikat pihak-pihak yang meminta pendapat hukum itu,” kata dia.
Mantan Menteri Kehakiman dan HAM ini beberapa kali menolak pendapat yang menyatakan bahwa MA bisa menguji Ketetapan MPR. Pasalnya, kata dia, MA hanya bisa memberikan penafsiran terhadap produk hukum setingkat Undang-undang atau di bawahnya.
Menanggapi adanya anggapan dasar hukum sidang istimewa tidak sah, Yusril menegaskan, prosedur sidang istimewa sudah diatur dalam UUD 1945 dan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978. Berarti, kata dia, prosedur untuk mengadakan Sidang itu sah.
Namun Yusril tidak menyalahkan jika ada yang berpendapat bahwa Tap itu tidak sah, dengan alasan aturan itu tidak termuat dalam UUD 1945, hanya di penjelasan UUD saja. Menurut dia, jika asumsi pemikirannya penjelasan dalam UUD 1945 tidak termasuk dalam UU 1945, Tap MPR memang tidak sah. Tapi, “Pemikiran itu tidak menjadi mainstream di kalangan pakar Hukum Tata Negara,” ujarnya.
Dia justru mempertanyakan, jika Tap Nomor III/MPR/1978 itu tidak diakui, mengapa ada usulan untuk menguji Tap itu. Usulan itu, bertentangan dengan dasar pemikiran bahwa Tap itu tidak sah. Menurut dia, jika Tap itu dianggap tidak sah, seharusnya tidak perlu mengadakan pengujian. (AM Fikri)