Perusahaan pemegang HPH di Gorontalo seperti PT Wenang Sakti, PT Taiwi Unit III (Grup Barito, Prayogo Pangestu), PT Centralindo Panca Sakti UKPH, PT Sapta Krida Kita, PT Inemexintra dan PT Gulat.
Selain perusahaan-perusahaan itu, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Daerah Sulawesi Utara baru saja melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) HPH Acrisinsdo Utama yang akan beroperasi di Kabupaten Boalemo. Sedangkan PT Mercindo Adibuana juga telah mengajukan lokasi lahan kegiatannya di Kabupaten Gorontalo. Ada juga perusahaan baru yang lain mengajukan izin dengan tidak memakai istilah HPH. "Misalnya, dengan izin pemanfaatan hasil hutan dan manajemen pengelolaan lahan. Jangan sampai ini kamuflase HPH," ujar Arfan.
Arfan menjelaskan, izin eksploitasi hutan ini bertentangan dengan kondisi daerah aliran sungai (DAS) di Gorontalo yang sudah masuk karegori berat dan sangat berat. Sungai yang dalam tingkat degradasi sangat berat antara lain, DAS Sumalata, Randangan, Poso-Angola, Batudaa Pantai, Paguyaman, Bolango dan Limboto. Sedangkan kondisi berat, DAS Tilamuta dan Bone. "Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di sekitar beroperasinya perusahaan juga tidak ada perubahan," kata Arfan.
Padahal, beberapa waktu lalu, fraksi-fraksi di DPRD Kabupaten Gorontalo telah meminta HPH yang beroperasi di Gorontalo dihentikan. Dalam surat kepada Gubernur Sulut, mantan pelaksana tugas Bupati Gorontalo, Prof Hasan Abas Nusi, meminta izin HPH yang beroperasi di Kabupaten Gorontalo dan Boalemo, Kabupaten Gorontalo dan Boalemo, dicabut terhitung mulai bulan Januari 2000. Surat ini menyusul terjadinya banjir besar di Gorontalo. (Verrianto Madjowa)