Didi menyatakan, Chaeruddin diangkat Presiden Abdurahman Wahid sebagai Wakapolri bukan untuk menggantikan posisi Bimantoro sebagai Kapolri. Namun bagaimana pun, keputusan Presiden itu adalah kenyataan dan hak prerogatif Presiden. Sehingga anggapan dualisme di tubuh institusi pengayom masyarakat itu tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, jelasnya, hubungan kedua pimpinan pucuk (Bimantoro dan Didi) baik.
Mengenai sikap anggota FPKB, Effendi Choirie, yang walk out dari rapat kerja rutin Komisi I DPR-RI dengan Polri yang ditanyakan Fikri Jufri, Didi menolak berkomentar. Dia juga tidak menjelaskan sikap Polri tentang status Kapolri yang dipermasalahkan dalam rapat yang dilaksanakan kemarin. Namun dia mengatakan mengapa Kapolri yang datang ke DPR bukan Wakapolri, itu karena Wakalpolri diminta untuk datang menghadiri serah terima Menteri Kehakiman dan HAM. “Biasanya kalangan DPR tidak mau (menerima), jika diwakilkan,” ujar dia.
Didi mengungkapkan, keputusan Presiden mengenai penonaktifan Kapolri dan peangkatan Wakapolri baru sebagai kebijakan kenegaraan. Karena itu sebagai institusi negara, Polri harus bersikap profesional yaitu menjalankan produk-produk hukum secara konsekuen. “Kita tidak ingin berpolitik, tetapi memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat,” kata dia.
Ketika ditanya posisi kepolisian sebagai public services, namun ada anggota yang ringan tangan atau mudah menembak seperti kasus penembakan Rudi Singgih di Bandung beberapa waktu lalu, Didi menjawab diplomatis. Menurut dia, kepolisian bukanlah malaikat yang serba lurus dan bersih. Karena itu dalam menjalankan produk hukum, polisi dibatasi oleh undang-undang, sehingga juga perlu dikontrol. Mengenai kasus Rudi sendiri, Didi berkomentar bahwa itu harus dilihat fakta di lapangannya (locus delicti) agar diketahui permasalahannya secara proporsional. (dede ariwibowo)