Harkristuti menjelaskan bahwa kasus-kasus yang dapat dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional sebagai suatu badan peradilan independen permanen melalui Statuta Roma adalah kasus-kasus pidana genocide. Ini dilakukan dengan adanya bukti-bukti kesengajaan untuk menghancurkan seluruh atau sebagian bangsa, ras, agama secara meluas dan sistematis.
Mahkamah Pidana Internasional juga dapat dipakai untuk mengadili tindak pidana lain yang bertentangan dengan kemanusiaan serta tindak pidana kejahatan perang. Harkristuti menjelaskan, ada beberapa asas yang dapat dipakai dalam MPI. Asas ini tidak berlaku surut digunakan untuk mengadili berbagai tindak pidana setelah dikeluarkan Statuta Roma. Selain itu juga diterapkan asas menolak impuniti.”Daftar penghapus diberlakukan namun tidak ada amnesti pengampunan dan kekebalan untuk para pejabat,” ujarnya.
Asas lain yang akan dipakai adalah asas menjatuhkan hukuman mati. Mahkamah Pidana Internasional, dalam hal ini dapat memerintahkan kompensasi atau pemulihan keadaan korban. Para korban dan saksi kasus yang termasuk dalam kasus Mahkamah Pidana Internasional harus diberi perlindungan. Menurut Harkristuti, peradilan Mahkamah Internasional itu harus benar-benar dijalankan sesuai prosedur.
Harkristuti mengatakan, kasus pidana dan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia masih merujuk pada Kitab Undang-undang Acara Hukum Pidana (KUHAP). “Ini yang menjadi masalah. Bagaimana kita mau mengajukan suatu kasus ke Mahkamah Pidana Internasional, “ kata dia. Perlu ada Undang-Undang HAM yang mengatur mengenai peradilan HAM di Indonesia sebelum mengajukan suatu kasus ke MPI. (Nurakhmayani)