Surat gugatan tersebut diajukan ke Pengadilan Distrik Federal, Washington DC. Dalam gugatan disebutkan bahwa The International Labor Rights Fund menjadi kuasa hukum dari sebelas (11) warga desa di Aceh dan anggota keluargnya yang selama satu tahun terakhir telah menjadi korban penyiksaan, pembunuhan, penculikan dan pemerkosaan yang dilakukan aparat keamanan Indonesia yang menjaga ladang gas Exxon Mobil.
"Exxon memberikan dukungan terhadap aparat keamanan untuk melakukan pelanggaran HAM terhadap warga sipil Aceh. Karena itulah, Exxon harus bertanggungjawab terhadap pelanggaran itu," ujar Terry Collingsworth, pengacara utama dari The Internasional Labor Rights Fund kepada koresponden Tempo New York, Kamis (21/6) siang waktu setempat (Jumat dinihari waktu Jakarta).
Nama kesebelas penggugat sengaja disamarkan karena alasan keamanan. Dalam surat gugatan, mereka dinamai sebagai John Joe dan Jane Joe. Disebutkan, misalnya, penggugat John Doe I. Ia seorang warga desa E yang bertempat tinggal di sekitar area Proyek Arun. Pada Januari 2001, ketika sedang mengendarai sepeda ke pasar lokal untuk menjual sayur-sayuran, ia didatangi oleh sejumlah aparat keamanan dari TNI Unit 113 yang bertugas di Exxon Mobil. Para prajurit itu menembak pergelangan tangannya, melemparkan granat ke arahnya dan kemudian meninggalkannya dalam keadaan mati.
Menurut Collingsworth, ia mengumpulkan bukti-bukti kasus ini secara intensif sejak Maret tahun ini. Ia datang langsung ke Aceh dan menemui para penggugat untuk melakukan wawancara. Ia menolak anggapan bahwa gugatan ini bermuatan politis sehubungan kabar pemerintah Amerika Serikat berniat melonggarkan embargo militer terhadap Indonesia. "Kami semata-mata membela kepentingan para penggugat yang harus mendapatkan sejumlah kompensasi dari Exxon Mobil karena tindak kekerasan yang dialaminya," kata dia.
Dalam surat gugatan tidak disebutkan berapa besarnya kompensasi yang dituntut para pengugat. "Kami memang tidak secara spesifik menyebutkah jumlah kompensasi. Tapi kira-kira sampai miliaran dolar," ujarnya.
Baca Juga:
Gugatan ini dimungkinkan karena adanya Undang-Undang Amerika Serikat yang dikenal sebagai "The Alien Tort Claims Act" --sebuah Undang-Undang yang muncul tahun 1700 yang mengizinkan warga asing menggugat perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat karena pelanggaran HAM.
Proses pengadilan kasus ini diperkirakan akan memakan waktu sekitar dua tahun. "Bisa kurang, bisa lebih. Tapi dalam jangka pendek, kasus ini akan memberikan tekanan kepada Exxon untuk memperhatikan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat keamanan yang menjaga ladang gasnya di Aceh dan mencegah pelanggaran HAM lebih lanjut," tegas Collingsworth.
Sementara itu, pihak Exxon Mobil, sebagaimana dikutip harian The New York Times (21/6), telah mengeluarkan pernyataan yang membantah tuduhan keterlibatannya dalam pelanggaran HAM di Aceh. "Exxon Mobil mengutuk segala bentuk pelanggaran HAM. Karena itu, perusahaan kami menolak dan secara kategoris menyangkal adanya pernyataan bahwa perusahaan ini atau afiliasinya terlibat dalam dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat keamanan di Aceh."
"Penyangkalan seperti itu sudah biasa. Biar nanti proses di pengadilan yang akan membuktikannya," ujar Collingsworth menanggapi sangkalan Exxon Mobil. Ia mengatakan bahwa bukti-bukti yang mendukung keterlibatan Exxon Mobil dalam pelanggaran HAM di Aceh sangat kuat. Beberapa bukti yang disebutkan dalam surat gugatan misalnya: Exxon Mobil menyediakan barak yang digunakan aparat keamanan untuk menyiksa para tahanan dan juga meminjamkan peralatan berat untuk menggali kuburan masal. "Karena itulah, peluang untuk memenangkan kasus ini sangat besar," ujarnya. (Supriyono)