Salah satu wujud komitmen itu, diantaranya harus dilakukan dengan mempercepat pembentukan pengadilan HAM untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Ia menilai baik lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif bertindak lamban menanggapi isu pembentukan pengadilan tersebut. "Padahal sudah tujuh bulan, UU Nomor 26/tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dikeluarkan," kritiknya.
Berdasarkan undang-undang itu, seharusnya Mahkamah Agung memberikan daftar nama calon hakim untuk bertugas dalam pengadilan tersebut. Namun, kata Nababan, hingga sekarang, MA belum juga menetapkan nama-nama hakimnya.
Menurutnya, ada hambatan politis dalam pembentukan pengadilan HAM. Terutama dari kelompok-kelompok yang mengetahui bahwa jika pengadilan HAM berjalan akan menjadi korban. “Baik itu pelaku, kelompok dan institusinya," ungkap Nababan mengingatkan.
Selama negara masih bersikap lamban, tutur Nababan lebih lanjut, bukan tidak mungkin kasus-kasus pelanggaran HAM berat terpaksa harus diajukan ke Mahkamah Internasional. Tapi menurutnya, pengadilan akan lebih efektif jika dilakukan dalam negeri karena “pengadilan internasional hanya peduli pada kasus yang menyangkut kepentingan internasionalnya," ujarnya mengakhiri pembicaraan. (Dara Meutia Uning)