Penolakan itu disampaikan Nur Hassan dalam pledoinya selaku kuasa hukum pemerintah Indonesia, di depan sidang Mahkamah Internasional, 26 Juni lalu. Menurut dia, penolakan itu karena permohonan intervensi Filipina sudah sangat terlambat. Proses penyelesaian hukum di Mahkamah Internasional mengenai sengketa antara Indonesia dan Malaysia sudah berlangsung sejak 1998. “Saat ini sudah masuk babak akhir penyelesaian,” ujar Nur Hassan menjelaskan.
Selain itu, Nur Hassan melanjutkan, pemerintah Indonesia menganggap Filipina tidak berkepentingan dalam masalah sengketa ini, karena hanya menyangkut masalah bilateral Indonesia-Malaysia. Alasan lain yang diajukan sebagai bahan penolakan Indonesia di depan sidang tersebut, intervensi Filipina justru akan memperlambat proses penyelesaian masalah. “Sebenarnya, mereka mengkhawatirkan bahwa keputusan Mahkamah Internasional berdampak atas keinginan Filipina mengklaim Sabah,” ungkap Nur Hassan merinci alasan Filipina untuk intervensi. Seperti halnya Indonesia, Malaysia pun menolak keinginan Filipina pada forum yang sama.
Pada sidang mahkamah Maret lalu, Filipina menyampaikan keinginan intervensi itu, yang kemudian dilanjutkan dengan penyampaian memorial, counter, dan reply dari Indonesia dan Malaysia sebagai tanggapan dari keinginan tersebut. Dalam catatan memorial Indonesia, disebutkan bahwa kedua pulau itu merupakan wilayah Hindia Belanda, hasil pemberian Inggris yang ditandatangani pada 1891. Sementara, Malaysia beranggapan bahwa kedua pulau bagian wilayah negara jiran tersebut berdasarkan hibah dari Sultan Sulu, yang memerintah Malaysia pada 1878.
Sengketa pulau Sipadan dan Ligitan diajukan ke Mahkamah Internasional karena perundingan bilateral antara RI dan Malaysia selama bertahun-tahun tidak mencapai kesepakatan. Sejak 1998, pemerintah Indonesia telah membentuk Satuan Tugas Khusus yang terdiri dari berbagai instansi terkait untuk menangani perkara ini di Mahkamah Internasional. Satuan tugas tersebut dibantu oleh tim penasehat hukum yang berasal dari Amerika Serikat, Perncis, dan Belanda yang dikoordinir oleh Kantor Pengacara Internasional Frere Cholmeley yang berkedudukan di Paris. (Sri Wahyuni)