Mereka juga menolak pengadilan koneksitas yang merupakan rekayasa sisa-sisa Orde Baru dan usaha untuk menyelamatkan mantan-mantan Petinggi Orde Baru dari kasus 27 Juli. Aksi mereka diawali dengan menggelar orasi di depan pintu masuk gedung utama kantor Komnas HAM. Selain melakukan orasi, mereka juga menggelar poster dan spanduk, antara lain bertuliskan "tolak peradilan koneksitas" dan "tangkap dan adili dalang kasus 27 Juli".
Menurut mereka, lima tahun kasus 27 Juli ini terombang-ambing tanpa penyelesaian yang jelas, termasuk pada pemerintahan Gus Dur dan Megawati. Itu karena masih banyaknya antek Orde Baru yang bercokol dalam lembaga-lembaga penyelenggara negara. Karena itu, mereka meminta kepada Komnas HAM untuk terlibat bersama mereka menuntaskan kasus 27 Juli. Mereka beranggapan bahwa Komnas HAM merupakan institusi tertinggi yang bertugas mengawasi proses penegakan HAM di Indonesia.
Mereka diterima oleh Anggota Komnas HAM Soegiri, F.Gunardo dan seorang staf Komnas HAM. Soegiri berjanji akan membicarakan tuntutan dari KN-PDI. Namun, ia tidak bisa memutuskan pembentukan KPP HAM tersebut, karena harus diputuskan dalam Sidang Pleno Komnas HAM. "Pembentukan KPP adalah untuk perkara yang sudah terjadi tahun 2000, saya mengacu pada UU," kata Soegiri.
Jawaban Soegiri ini menimbulkan ketidakpuasan dari KN-PDI sehingga sempat bersitegang. Dialog yang awalnya berjalan tertib, berubah menjadi tidak terkendali. beberapa anggota KN-PDI ada yang mencaci maki Soegiri dan berteriak "bubarkan Komnas HAM". Soegiri sendiri sempat mengancam akan mennggalkan pertemuan jika KN-PDI tidak tertib. "Silahkan Anda bubarkan Komnas HAM," kata Soegiri dengan nada tinggi.
Setelah koordinator KN-PDI meminta untuk tenang, dialogpun berjalan kembali. Ketidakpuasan itu muncul karena kasus Tanjung Priok, Trisakti dan Semanggi bisa di bentuk KPP HAM. (kurniawan)