Selain FKB, konfrensi pers ini juga diikuti oleh fraksi Demokrasi Kasih Bangsa (FPDKB) MPR yang disampaikan Manasse Malo. Pada kesempatan itu, Yusuf Muhammad mengungkapkan, PKB tidak mau menghadiri undangan rapat Paripurna MPR RI dari pimpinan MPR RI tertanggal (20/7), karena rapat itu bertentangan dengan UUD 1945, Tap MPR dan hasil keputusan badan pekerja MPR. “Telah terjadi proses reduksi UUD 1945 dan Tap MPR. Oleh karena itu, FKB telah sampai pada batas toleransi dan tidak ingin terus menerus berada dalam pengambilan keputusan dan perbuatan dosa kolektif,” kata Yusuf Muhammad.
Ia menambahkan, keputusan Badan Pekerja MPR yang memberikan saran kepada pimpinan untuk sewaktu-waktu melaksanakan Sidang Istimewa MPR. Menurut kesepakatan atau keputusan Badan Pekerja MPR itu, rapat paripurna mempunyai tiga agenda, salah satunya adalah membahas apakah sidang istimewa dipercepat atau tetap pada 1 Agustus mendatang. Ternyata menurut undangan dari pimpinan MPR kepada anggota majelis, seolah-olah Sidang Istimewa MPR sudah dipercepat.
Seperti diketahui, Rapat Paripurna MPR kali ini mempunyai tiga agenda, yaitu penyampaian pendapat fraksi-fraksi MPR terhadap perkembangan situasi dan kondisi menjelang SI MPR. Kedua, mengambil keputusan terhadap pelaksanaan SI MPR pada (21/7). Ketiga, pengesahan jadwal Sidang Isitimewa MPR. “Dari ketiga agenda itu dapat dilihat bahwa rapat paripurna sudah memasuki sidang istimewa. Ini menyalahi kesepakatan yang telah ada dan secara bersama-sama diputuskan dalam BP MPR yang terakhir,” kata Yusuf Muhammad.
FKB berpendapat, sejak proses Memorandum I hingga II sudah ada penyimpangan-penyimpangan. Itu ditambah lagi dengan proses reduksi terhadap UUD 1945 yang dilakukan oleh aturan yang di bawahnya yaitu Tap MPR. FKB menganggap kasus Bulogate dan Bruneigate yang menjadi materi memorandum I dan II merupakan sebuah intrik sebagai upaya sekelompok orang yang kecewa dan sakit hati.
Sementara itu, Ketua Fraksi PDKB (Partai Demokrasi Kasih Bangsa) Manasse Malo mengatakan, fraksinya menyatakan menolak dan tidak akan menghadiri rapat paripurna. Sebab landasan yang digunakan untuk mengadakan rapat paripurna dan percepatan sidang istimewa yaitu pengangkatan Komisaris Jenderal (pol) Chaerudin Ismail sebagai Pejabat Sementara Kapolri oleh Presiden Abdurrahman Wahid tidak bertentangan dengan Tap MPR Nomor 7 tahun 2000, seperti yang dianulir oleh fraksi-fraksi di MPR yang lainnya.
Baca Juga:
Justru kata dia, yang menyalahi aturan adalah pimpinan MPR sendiri. Sebab pimpinan MPR telah menyatakan situasi negara dalam keadaan darurat, sehingga sidang istimewa itu dipercepat. Padahal yang berhak menyatakan keadaan darurat adalah Presiden sesuai pasal 12 UUD 1945. Dan itu hanya berkaitan dengan pengangkatan Chaerudin. Padahal masalah ini adalah hak prerogratif Presiden. “Ketua DPR pun berpendapat bahwa Presiden tidak melanggar konstitusi,” kata Ketua PDKB ini. Untuk itu Fraksi PDKB menyimpulkan bahwa reaksi keras hanya datang dari pimpinan MPR. (Siti Marwiyah)