Baik Presiden maupun MPR memang ngotot pada pendirian masing-masing. Kendati demikian, Wimar mengatakan bahwa Presiden berani mempertanggungjawabkan keputusannya itu. Apabila sejumlah pengamat politik menyebut ketidakhadiran Presiden dalam SI bisa berkibat pemberhentian jabatan presiden, menurut Wimar, itu sah-sah saja. Tetapi ia mengingatkan, masih ada pengamat lainnya yang berpendapat beda. “Ini namanya demokrasi, bebas untuk berbicara dalam perbedaan,” kata dia.
Meski ketegangan MPR dan Presiden terus berlanjut, sikap Gus Dur tetap tidak dicabut. Itu selama tidak mempengaruhi konflik horisontal. Melihat kondisi, sejauh ini konflik itu tidak terjadi. “Jadi Presiden tetap mempertahankan yang benar, selama tidak ada konflik fisik,” ungkap dia.
Wimar melihat, kemungkinan MPR memberhentikan Gus Dur bila tidak hadir dalam sidang itu justru dianggap tidak masuk akal dan melanggar konstitusi UUD 1945. MPR tidak berhak memberhentikan Gus Dur. Alasannya, substansi penyelenggaraan sidang sudah berada di luar jalurnya. Sidang yang dimaksud MPR juga masih belum jelas.
Soal keteguhan sikap Gus Dur itu, Wimar mengatakan, itu karena ia menganggap keputusan-keputusan DPR/MPR yang selalu memojokkannya dan itu hanya bagian dari ambisi kekuasaan mereka. Gus Dur merasa, elite politik itu hanya menginginkan dirinya jatuh. "Karena keputusan itu hanya untuk memaksa diri menggeser Gus Dur, makanya Presiden tetap yakin pada pendiriannya yang benar," jelas Wimar.
Menurut Wimar, Gus Dur memandang SI hanya bisa diselenggarakan dalam konteks persoalan kasus Buloggate dan Bruneigate, bukan pada kasus pengangkatan Kapolri Jenderal Chaeruddin Ismail, seperti yang tercantum dalam surat MPR kepada Presiden. “Ini tidak relevan,” tandas dia. Wimar menambahkan, penyelenggaraan SI harus melalui prosedur dan ketentuan peraturan maupun undang-undang. SI hanya bisa digelar setelah dua bulan dikeluarkannya Memorandum II. Presiden menganggap sidang ini bukan SI yang seharusnya. “Makanya beliau tetap tidak akan hadir,” jelas dia.
Baca Juga:
Wimar mengatakan, seharusnya dalam konflik antara MPR dan Presiden harus ada penengahnya. Salah satu lembaga yang bisa menjadi wasit adalah Mahkamah Agung. Lembaga ini bisa mengeluarkan fatwa berkaitan dengan kasus-kasus hukum yang terjadi pada pejabat negara. Teapi sayangnya, saat ini masih belum ada yang berinisiatif menjadi wasitnya. Saat didesak mengenai maksud fatwa ini, Wimar tidak menjelaskan lebih jauh mengenai bentuk dan prosedurnya. (E. Karel Dewanto)