Kontras mencatat, sejak pemberlakuan Inpres tersebut, banyak terjadi kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kekerasan itu meliputi pelanggaran hak untuk hidup, tidak melakukan perlindungan terhadap warga sipil yang terjebak dalam konflik, aparat campur tangan dalam hal kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat, penganiayaan, serta melakukan tindakan semena-mena.
Melihat fenomena tersebut, Kontras mendesak agar Inpres yang berlaku efektif sejak empat bulan lalu itu dicabut dan penyelesaian politik di Aceh harus kembali lagi ke meja perundingan. Hal ini, kata Usman, untuk melindungi keselamatan masyarakat sipil yang selama ini menjadi korban.
Berkaitan dengan penyelesaian politik di Aceh, Kontras juga mendesak pemerintah, dalam hal ini Panglima TNI dan Kapolri, untuk melakukan kontrol terhadap anggotanya pada level apa pun yang terlibat dalam kekerasan dan pelanggaran HAM, serta mempertanggungjawabkannya.
Inpres Nomor 4/2001 itu menginstruksikan pada jajaran menteri bidang Polkam untuk menyelesaikan masalah di Aceh secara komprensif dan menyeluruh melalui pendekatan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Namun, Kontras menilai justru kekerasan terhadap masyarakat kecil, serta meningkatnya eskalasi kekerasan di Aceh, disebabkan oleh tidak berjalannya pendekatan politik, ekonomi, sosial, dan budaya tersebut. Bahkan, anggota TNI dan Polri bersikap over acting dan merasa memiliki legitimasi dengan adanya Inpres tersebut.
Kontras juga menilai, kedatangan para pejabat pemerintah ke Aceh akan sia-sia apabila keinginan atau upaya untuk menyelesaikan konflik di Aceh tanpa memahami faktor-faktor yang dapat mempertimbangkan dalam usaha mengambil keputusan, tentang tindakan mana yang bisa dilakukan sehingga upaya tersebut efektif. (Siti Marwiyah)