"Karena saya melihat bahwa [dengan referendum] saya tidak akan kehilangan muka. [Karena] Saya tidak bertanggung jawab atas [masalah] itu," kata Habibie kepada wartawan SMH David Jenkins, yang menemuinya di sebuah apartemen yang disewanya selama liburan musim panas di dekat Menara Eiffel, Paris.
Presiden ketiga yang berkuasa selama 17 bulan itu tak merasa terkejut dengan hasil referendum itu yang membuktikan bahwa 80 persen rakyat Timtim memilih merdeka. "Tidak," katanya, "Saya tidak terkejut." Sebab, rakyat Timtim tidak pernah merasa menjadi bagian dari Indonesia.
Ide referendum itu, kata pakar pesawat yang kini menghabiskan waktunya dengan jalan-jalan bersama cucunya itu, muncul setelah menerima surat dari PM Australia John Howard Desember 1998. Howard menyarankan agar dilakukan jajak pendapat di wilayah Bumi Lorosae itu.
Kebetulan, pandangan itu diperkuat oleh penasehat politik Habibie, yang mengatakan Timtim adalah "provinsi pengemis yang tidak tahu terima kasih" dan menjadi beban rakyat Indonesia. Dalam waktu satu bulan, tulis SMH, Habibie memberitahu kabinetnya bahwa ia ingin melepaskan Timtim dari kontrol Indonesia jika itu yang memang diinginkan rakyat Timtim.
Namun rencana ini mendapat tentangan dari sejumlah kalangan militer yang kemudian merekrut milisi untuk mempertahankan Timtim. Akibatnya Ketika hasil pemungutan suara tanggal 30 Agustus menunjukkan Timtim memilih untuk merdeka, milisi membuat kerusuhan besar dan membunuh ratusan orang.
Untuk memperkecil kerusuhan, Habibie meminta Sekjen PBB Kofi Annan berjanji akan memberitahu hasil referendum tiga hari sebelum diumumkan secara resmi. Tapi, kata Habibie, Sekjen PBB itu ingkar janji, ia diberitahu 30 menit menjelang pengumuman resmi. "Amplitudo kerusakan tidak sampai 100 persen, tapi 10 persen, karena berhasil diminimalisir."
Soal kekerasan yang meletus pasca referendum, Habibie menyatakan yang bertanggung jawab adalah "elemen-elemen kriminal", bukan TNI. Yang yang paling patut dipersalahkan atas terjadinya hal itu, katanya, adalah PBB. (Tjandra)