Sesungguhnya, Adrianus menambahkan, posisi tersebut tidak perlu ada. Karena secara fungsional sudah ada staf ahli, koordinator staf ahli, dan semua perwira yang bisa memberikan nasehat. Apalagi struktur, kewenangan, dan otoritas Polri sudah jelas. Namun, dengan mengangkat Chaeruddin tersebut, bisa jadi Kapolri berharap akan mampu merangkul kelompok Chaeruddin, minimal angkatannya, yakni angkatan 1971.
Dilihat dari sejarahnya, kenaikan Chaeruddin tergolong tidak terlalu beres. Track Chaeruddin untuk mendapatkan bintang empat adalah dengan ‘mengkadali’ organisasinya sendiri. "Jadi untuk apa sebenarnya?" tanya Adrianus.
Akan tetapi, Adrianus mengingatkan, pada waktu itu, ada banyak orang yang menaruh harapan pada Chaeruddin, minimal angkatan 1971. Sehingga, dengan merangkul Chaeruddin, Kapolri Da’i Bachtiar berharap juga akan merangkul angkatan 1971. "Minimal, untuk tidak berbuat macam-macam," papar Adrianus yang juga tercatat sebagai penasihat ahli Kapolri.
Contoh lain, kata Adrianus, Da’i juga melempar Nurfaizi ke atas, dari jabatannya sebagai Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian menjadi Kepala Badan Koordinasi Narkoba Nasional. Meski demikian, menurut Adrianus, apa yang dilakukan Kapolri tersebut bukanlah merupakan sebuah pelanggaran. "Nggak ada yang dilanggar," katanya.
Adrianus mengingatkan, Da’i Bachtiar harus berhati-hati dalam masalah tersebut. Dia berharap, langkah tersebut tidak sampai menjadi senjata makan tuan, artinya jangan sampai memelihara ular yang akhirnya mematok dirinya sendiri. "Jangan sampai dia disetir," tuturnya.
Akan tetapi, Adrianus yakin bahwa Da’i tahu pasti, batas-batas dari apa yang dia sebut sebagau diperbantukan itu. Di sisi lain, Chaeruddin juga harus tahu diri, bahwa dia dihidupkan bukan dalam konteks untuk hidup yang sesungguhnya, melainkan untuk kerukunan.
Chaeruddin, menurut Adrianus, sebenarnya sama dengan perwira-perwira lain yang menonjok Polri. Dalam hal ini, mereka boleh masuk atau tidak. Artinya, menerima atau menolak tawaran Kapolri. Sebab, seandainya mereka tidak masuk, bukan berarti tidak loyal. Namun, bila Kapolri meminta aksesnya, mereka juga tidak boleh menolak.
Dulu, tambahnya, Bimantoro juga pernah melakukan hal yang sama, yaitu dengan cara menggandeng delapan orang untuk menjadi penasihat ahli. Padahal, penasihat ahli sebenarnya juga jabatan yang diciptakan secara menyimpang. "Kami bukan pejabat struktural," katanya. Sekarang, Da’i memperlebarnya menjadi 12 orang.
Adrianus menyarankan, lebih baik Chaeruddin difungsikan di penasihat ahli atau staf ahli. "Supaya lebih pack dan wajar kedengarannya," ujarnya.
Namun masalahnya, posisi staf ahli adalah untuk bintang dua atau tiga. Sedangkan untuk penasihat ahli sebagian besar sipil. Memang, ada tiga purnawirawan yaitu Mayjend (Purn) Roni Wihawa, Mayjend (Purn) Wowo Kelana, dan Brijend (Purn) Jean Mandagi, di sana. Jadi, memang posisi ini cenderung untuk ‘kandang’-nya purnawirawan. "Sementara itu, Chaeruddin kan belum purnawirawan. Jadi susah juga memberikan kotak yang pas. Kotak yang pas untuk bintang empat, ya... Kapolri," katanya.
Sementara itu, kriminolog Universitas Indonesia, Tubagus Ronnny Nitibaskara, menilai tindakan Da’i Bachtiar yang mengangkat Chaeruddin sebagai perwira tinggi yang diperbantukan kepada Kapolri merupakan hak prerogatif Kapolri. "Itu adalah kewenangan Kapolri. Jadi, tidak masalah," ujar Ronny yang dihubungi Tempo News Room lewat telepon, Kamis (27/12).
Menurut Ronny, di dalam Kepolisian, bintang empat hanya dimiliki oleh Kapolri. Sebab, tidak ada posisi Wakapolri untuk bintang empat. Sedangkan yang lain, maksimal bintang tiga atau Irjen.
Ronny menilai, mutasi tersebut bukan lantaran tidak ada ruang atau tempat lain bagi jenderal berbintang empat. "Struktur Polri kan sudah terbentuk, sudah baku. Apalagi sudah ada UU Kepolisian yang baru," tuturnya.
Akan tetapi, sejauh mana posisi tersebut dibutuhkan, Ronny enggan berkomentar. "Mungkin ada pertimbangan tertentu," katanya.
Dengan posisi baru yang diemban Chaeruddin tersebut, Ronny menambahkan, bisa saja Chaeruddin memberikan masukan terhadap sesuatu hal yang belum dikuasai penasihat atau staf ahli lainnya. Mungkin, lanjutnya, Chaeruddin dianggap mampu untuk itu. Apalagi, dia pernah menjabat sebagai direktur Sespi (Sekolah Pimpinan) di Lembang Bandung dan sering menulis tentang kepolisian.
Sementara itu, upaya untuk memposisikan Chaeruddin sebagai penasihat tidak memungkinkan. Pasalnya, penasihat ahli adalah orang sipil. "Itu berlaku asas konvensi kebiasaan bahwa penasihat ahli adalah orang sipil," katanya.
Hal tersebut berbeda dengan staf ahli yang dijabat oleh polisi masih aktif yang bintangnya masih di bawah Kapolri. Ronny mencontohkan, "Guru besar dari perguruan tinggi ilmu kepolisian yang sipil dan dianggap mampu seperti Lobby Loeqman bisa diangkat sebagai penasihat ahli." (Retno Sulistyowati-Tempo News Room)