Hal ini terungkap dalam jumpa pers di ICMI Center, Jakarta Selatan, Jumat (28/12) sore.
Ketua Umum ICMI Adi Sasono memaparkan, abolisi kepada Soeharto layak diberikan mengingat mantan presiden kedua RI tersebut tidak memungkinkan untuk diajukan ke pengadilan. Dukungan terhadap abolisi didasarkan juga pada upaya agar bangsa Indonesia tidak terjebak pada dendam masa lalu, yang dinilainya, tidak patut. Namun, lanjut Adi, abolisi ini tidak berlaku bagi kasus-kasus lainnya yang melibatkan anak-anak Soeharto dan kroni lainnya.
ICMI juga mendukung Presiden Megawati Seokarnoputri untuk memperhatikan saran DPR soal pengeluaran abolisi ini. "Keputusan politik Indonesia sudah saatnya menutup buku yang memang sudah waktunya ditutup," kata mantan Ketua Dewan Mahasiswa ITB 1965-1966 ini.
Adi lalu mencontohkan Nelson Mandela dari Afrika Selatan yang juga memaafkan pemimpin terdahulunya. "Padahal, saat di penjara selama 27 tahun, tiap hari kepala Mandela disiram air kencing," papar Adi yang mengaku baru pulang dari Afrika Selatan.
Adapun Megawati, kata Adi, juga mempunyai hak sejarah untuk sakit hati karena pernah diperlakukan tidak adil semasa orde baru. Hal ini dipertegas oleh pernyataan pakar hukum tata negara Jimly Asshidiqie yang turut hadir dalam jumpa pers tersebut. Jimly mengatakan di semua negara demokrasi selalu disediakan piranti hukum yang memungkinkan seseorang dihapus tututannya, jika seseorang yang diadili itu secara teknis tidak memungkinkan untuk diajukan ke pengadilan. "Pak Harto itu sudah jelas sakit, kita tidak usah pura-pura tidak tahu bahwa dia tidak sakit," katanya.
Abolisi, kata pakar hukum berkacamata ini, selalu menyangkut kasus hukum konkrit yang kasusnya masih ditangani oleh kejaksaan. Dalam hal Soeharto, abolisi itu menyangkut kasus KKN yayasan-yayasan yang pernah dipimpinnya. "Ini berbeda dengan deponir yang wewenangnya masih di kejaksaan agung," kata Jimly.
Maka, Jimly dan ICMI sepakat mendukung abolisi yang dianggap lebih bisa dipertanggungjawabkan dibanding deponir. "Jika deponir, institusi kejaksaan tidak cukup kuat untuk mengeluarkannya. Rakyat nanti tidak lagi percaya pada kejaksaan," katanya menambahkan.
Jimly menegaskan, keputusan abolisi ini tidak akan melanggar Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. "Amanat Tap MPR itu tinggi. Akan tetapi masih ada yang lebih tinggi yaitu Pasal 14 ayat 2 UUD 1945," katanya.
Dalam UUD 1945 perubahan pertama, pasal yang dimaksud Jimly berbunyi, "Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat."
Hal ini, kata Jimly, bisa dipertanggungjawabkan dalam pertanggung jawaban presiden di akhir masa jabatannya karena sudah dijamin dalam peraturan tertinggi republik ini. Jimly menekankan pada kata "memperhatikan" yang berbunyi dalam pasal tersebut. "Keputusan abolisi itu sepenuhnya berada pada presiden, meski DPR, misalnya, tidak setuju," katanya.
Sehingga, Jimly menilai tidak tepat jika Megawati meminta pertimbangan pada Ketua Mahkamah Agung menyangkut abolisi. "Yang wajib dimintai pendapatnya dalam hal ini adalah DPR," katanya.
Wacana abolisi tersebut mencuat setelah kondisi Soeharto dinyatakan kritis karena terserang pneominia, Senin (17/12) malam lalu. Tak sedikit pakar hukum yang pro dan kontra soal gagasan ini. Bahkan anggota kabinet sendiri saling lempar soal siapa pelontar ide tentang hak prerogatif presiden yang akan menghapus tuntutan perkara mantan presiden yang berkuasa selama 32 tahun tersebut. (Bagja Hidayat-Tempo News Room)