Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta:Bekas Presiden BJ Habibie Menegaskan bahwa dirinya tidak pernah memerintahkan kepada TNI untuk melakukan kekerasan setelah jajak pendapat di Timor Timur pada 1999. Hal itu dikemukakannya saat menjadi saksi pada persidangan kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur, dengan terdakwa bekas Komandan Korem 164 Wiradharma Timor Timur, Brigjen Tono Suratman, di Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat, Kamis (20/3) siang. Habibie, yang saat itu mengenakan pakaian batik dan peci hitam itu, mengatakan, timbulnya banyak korban jiwa setelah pelaksanaan jajak pendapat disebabkan oleh kurangnya persiapan keamanan. Namun, hal itu bukan sepenuhnya kesalahan pemerintah Indonesia. Ia menjelaskan, sesungguhnya sesuai dengan perjanjian tripartit yang dicapai bersama PBB dan pemerintah Portugal, hasil jajak pendapat yang dilakukan pada 30 Agustus 1999 itu, sedianya akan diumumkan pada 7 September 1999. Tetapi secara sepihak, PBB mengajukan pengumuman hasil tersebut lebih awal, yaitu pada 4 September 1999. "Saya hanya ditelpon oleh Kofi Annan pada tanggal 4 September, jam dua belas malam, bahwa ia mengumumkan hasil jajak pendapat (referendum)," ujarnya. Habibie menolak jika dikatakan bahwa pemerintah Indonesia memang tidak mampu menjamin keamanan di Timor Timur. "Buktinya PBB bersedia untuk mempercayakan keamanan kepada pemerintah Indonesia pada perjanjian tripartit," kilahnya. Hanya saja, kata ia, karena adanya pemajuan jadwal pengumuman hasil jajak pendapat itulah, maka Indonesia tidak dapat mengantisipasi terjadinya kekerasan. Ketika majelis hakim menanyakan mengapa ia tidak segera mengadakan langkah strategis yang dapat menghentikan kekerasan yang saat itu terjadi, ia menjawab bahwa pada saat itu Indonesia belum bisa memasukkan pasukan keamanan ke Timor Timur karena adanya kesepakatan dengan UNAMET. "Kita terbatas oleh kesepakatan dengan UNAMET," katanya. Habibie mengatakan bahwa setelah mendapatkan kabar terjadinya clash (kerusuhan) antara kubu pro-integrasi dengan kubu pro-kemerdekaan sehari setelah diumumkannya hasil jajak pendapat oleh PBB (5 September), ia langsung memerintahkan Menlu, Mendagri, Menhankam, Menko Polkam, serta Kepala BIN untuk terbang ke Timor Timur untuk melihat situasi yang terjadi. Setelah mendapat laporan pada 6 September, malamnya, tepatnya tanggal 7 September dini hari, ia menetapkan darurat militer atas Timor Timur. Pada kesempatan itu, Habibie sempat ditanyakan oleh Ketua Tim Pembela terdakwa, Yan Juanda Saputra tentang sebuah tulisan Tempo dalam edisi bahasa inggris yang mengatakan bahwa dirinya pernah terbang ke Bandara Komoro Timor Timur, pada 18 Agustus 1999. Namun ia membantah, "Itu tidak benar, coba cek saja ke ajudan, sekneg." Ia mengatakan bahwa ia hanya sekali saja mengunjungi Timor Timur, yaitu saat menjabat sebagai Menristek, dalam rangka kunjungan pengarahan untuk pembangunan kawasan Indonesia Timur. "Saya hanya berada di sana 12 jam. Waktu itu saya naik pesawat Hercules," jelasnya. Pada beberapa versi cerita, dua hari kemudian, ia melakukan pertemuan rahasia dengan Adam Damiri, dan Jendral Wiranto di Dili. Namun, cerita itu kurang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Pada kesempatan itu, Habibie justru menyarankan agar siapapun pelaku di balik kerusuhan yang terjadi di Timor Timur itu harus dihukum, tanpa memandang SARA, militer atau sipil. "Apapun yang terjadi, suatu tindakan kriminal, siapapun harus dihukum dengan menghormati asas praduga tak bersalah, dan independen tanpa tekanan dari pihak manapun," ujarnya. Sidang kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur kali ini memang agak berbeda dengan sidang-sidang sebelumnya. Dengan kehadiran BJ Habibie sebagai saksi, pengamanan selama sidang berlangsung sangat ketat. Sampai-sampai Kapolres Metro Jakarta Pusat dengan wakilnya, sempat hadir menengok persidangan. Hadirin yang ingin melihat sidang itu, diharuskan melewati alat detektor logam. Selain itu, seorang petugas memeriksa isi tas pengunjung yang melihat sidang di Lantai dua gedung PN Jakarta Pusat itu. Beberapa tokoh tampak hadir pada acara itu, seperti pengacara terkenal OC Kaligis, Mantan Menteri Kehakiman dan HAM, yang saat ini menjabat sebagai Direktur Bidang Demokrasi dan HAM Habibie Center Muladi, Direktur Eksekutif Habibie Center Watik Pratiknya, teman dekat Habibie Harriman Siregar, serta Benyamin Mangkoedilaga. Usai memberi kesaksian, Habibie langsung dikawal oleh beberapa orang berseragam menuju mobilnya. Wartawan yang ingin melontarkan pertanyaan kepadanya, praktis hanya dapat tertegun dengan ketatnya dan cepatnya pengawalan Habibie menuju kendaraannya. Saat sidang usai, Jaksa Penuntut Umum Gabriel Simangunsong mengatakan kepada wartawan bahwa materi pertanyaan para hakim kepada saksi yang ia hadirkan, agak keluar dari jalur. "Seharusnya lebih banyak pertanyaan yang mengarah kepada pelanggaran HAM oleh terdakwa. Tapi ini malah lebih banyak menanyakan kebijakan-kebijakan yang Habibie ambil saat itu," ujarnya. Terdakwa sendiri, pada kasus ini didakwa melakukan pelanggaran HAM berat, atas terjadinya peristiwa pewnyerangan di rumah pastur Rafael Dos Santoz di Komplek Gereja Liquica pada 5-6 April 1999, serta penyerangan rumah tokoh pro-kemerdekaan Manuelle Carascalao, pada tanggal 17 April 1999. Akibatnya, jatuh korban jiwa sebanyak 18 orang, yang sedang berlindung di komplek gereja Liquica. Sedangkan sebanyak 12 orang sipil lainnya tewas, saat bentrokan 17 April 1999. Indra Darmawan --- TNR