Kepala Biro Hukum Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah Tjindra Parma mengatakan, privatisasi pengelolaan air dalam Rancangan Undang-Undang Sumberdaya Air tidak berarti pembelian saham perusahaan. Namun, tambah Tjindra, ini merupakan bentuk kerjasama pemerintah dan swasta dalam menangani pembangunan prasarana sumberdaya air. Hal ini dikatakannya kepada Tempo News Room disela-sela Rapat Dengar Pendapat komisi IV DPR RI dengan sejumlah pakar air dari berbagai perguruan tinggi seperti ITB dan UI, Selasa (27/5) siang.
Menurut Tjindra, privatisasi ini dilakukan agar terdapat pembagian tanggung jawab antara pemerintah dan masyarakat yang diwakili sektor swasta dalam pengelolaan air. Pemerintah butuh dana yang tidak sedikit untuk membiayai prasarana air serta pemeliharaan prasarana tersebut ujarnya.
Privatisasi itu sendiri, tambah Tjindra, hanya bisa dilakukan dengan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi pihak swasta. Seperti misalnya, swasta hanya bisa masuk dalam bagian wilayah sungai. Sementara untuk sistem sungai tetap ditangani pemerintah. Selain itu, harus diperhatikan pula ketersediaan air. Air yang ada diprioritaskan untuk kebutuhan masyarakat baru kemudian sisanya dapat dipergunakan oleh swasta.
Menanggapi permintaan Walhi untuk menunda pengesahan RUU Sumber Daya Air (RUU SDA), Tjindra sangat keberatan. Bila menunda RUU SDA berarti kita tetap memakai UU No.11 tahun 1974. Padahal undang-undang tersebut hanya mengatur masalah pendayagunaan air seperti untuk listrik dan pertanian katanya.
Dalam RUU SDA yang baru ini akan diatur tiga bidang penting yaitu masalah konservasi, pengendalian daya rusak air misalnya, banjir dan pengelolaan banjir. Diharapkan dana hasil kerjasama dengan pihak swasta tersebut dapat digunakan untuk melakukan konservasi serta melakukan pengendalian daya rusak air.
(Sita P.A.-TNR)