Wakil Ketua Badan Perisai, Tus Oevaang Mering, mengungkapkan hal itu usai diterima Wakil Presiden Hamzah Haz, di Istana Wapres, Jakarta, Selasa (10/6). Kami punya saham yang sebanding dengan nilai lahan yaitu sebesar 30 persen, kata Tus Oevaang Mering. Badan Perisai adalah organisasi yang menaungi masyarakat adat Dayak,
Menurut Mering, investor tidak boleh mengambil semua keuntungan yang diperoleh dari pengusahaan lahan itu. Kendati mereka telaah menanamkan modalnya, investor diminta untuk membagi hasil dengan masyarakat adat dan pemerintah. Mering mengatakan, nilai saham yang dimiliki pemodal atas investasinya adalah 60 persen. Sedangkan 10 persen sisanya adalah bagian pemerintah pusat sebagai pengawas.
Tuntutan masyarakat itu dikarenakan selama ini pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) tidak memberikan kontribusi apa pun kepada masyarakat adat. Bahkan, para pengusaha dinilai cenderung merugikan, karena areal pertanian dan usaha ekonomi masyarakat menjadi menyempit. Perusahaan itu telah mengambil tanah adat, ujarnya.
Menyempitnya area pertanian itu, menyebabkan masyarakat menolak setiap upaya perluasan lahan perusahaan perkebunan. Pembukaan hutan untuk perkebunan justru meresahkan karena menghilangkan keanekaragaman hasil hutan yang selama ini dipetik masyarakat setempat.
Karena itu, masyarakat menolak perusahaan HPH yang masih diizinkan pemerintah, terutama yang melakukan usaha di aliran sungai bagian hulu yang merupakan sumber air, pegunungan, perbukitan, dan hutan lindung. Mereka juga meminta aturan pertanahan diserahkan kepada lembaga hukum adat. Mering menambahkan, masyarakat juga menuntut kompensasi yang jelas atas usaha penebangan kayu, seperti usaha kemitraan sebagai bentuk bagi hasil usaha yang adil.
Menanggapi hal itu, Wakil Presiden Hamzah Haz mengatakan, pemerintah akan melakukan penelitian kembali hak milik tanah, lahan mana yang termasuk tanah negara, masyarakat, dan tanah yang diusahakan. Pemerintah akan melakukan sertifikasi atas kepemilikan lahan. (Retno Sulistyowati-Tempo News Room)