Pengamat ekonomi A.Tony Prasetiantono, menyatakan, tanpa IMF pun Indonesia terbukti bisa melakukan pengawasan, sebagai salah satu elemen penting akuntabilitas terhadap publik, dengan baik. Pengamat Indonesia, katanya, buktinya lebih galak daripada IMF yang seharusnya melakukan kontrol terhadap sistem keuangan Indonesia. Siapa yang membongkar Bank Bali, Pradjoto. Lippo Bank, Lin Che Wei, ujar ekonom Universitas Gajah Mada, A. Tony Prasetiantono, saat seminar tentang industri keuangan Kamis (12/6) sore di Hotel Bumi Karsa, Jakarta.
Ia mengemukakan dua pilar Perbankan Indonesia, yaitu divestasi dan rekapitulasi sebagai sistem yang bisa efektif dijalankan. Divestasi, merupakan terobosan yang bermanfaat bagi keterbukaan finansial. Ia melihat, divestasi dan upaya penjualan saham kepada publik (Initial Public Offering) menjadi daya dorong perusahaan-perusahaan keuangan tersebut untuk lebih terpantau oleh publik. Pemilik-pemilik (saham) kecil akan lebih berperan karena representasi kepercayaan pasar, ujarnya.
Hal ini harus menjadi indikator akuntabilitas publik terhadap perusahaan yang dimilik oleh pihak pemegang saham. Pascakontrak IMF justru, katanya, merupakan momentum bagi pemilik yang merupakan publik untuk memantau perusahaan keuangan yang saat ini sedang go publik.
Namun, saat ini perbankan Indonesia belum bisa dikatakan bangkit. Indonesia harus menunggu beberapa waktu untuk memastikan bahwa perbankan Indonesia sedang pulih. Kita perlu tunggu, jangan-jangan ada bom waktu. Toh pada tahun 1997, kita merasa baik-baik saja, tapi ternyata tidak, ujar Tony.
Argumentasinya, didasari atas pilar perbankan lainnya, yaitu rekapitalisasi. NPL (kredit macet), salah satu indikatornya, kan saat ini dinyatakan baik-baik saja, tapi siapa yang tahu, beberapa saat ke depan, ujarnya.
Ia menganjurkan agar perbankan Indonesia tidak lengah lagi, saat sedang menunjukkan tanda-tanda pulih. Wajar kalau saat ini musim semi (bagi perbankan), sebab ongkos yang keluar juga sudah banyak. Tidak wajar kalau saat ini masih belum membaik juga, ujarnya. Sistem yang efektif, katanya, harus dibentuk perbankan untuk menyiapkan salah satu pilar keuangan di Indonesia dalam persiapan Indonesai mengakhiri kontrak kerjanya dengan IMF.
Sementara itu, dua orang praktisi perbankan, Direktur Umum PT Bank Rakyat Indonesia Rudjito dan, Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Swasta Nasional (Perbanas) Gunarni Soeworo menilai, perbankan Indonesia seharusnya belajar dari masa lalu. Bukan dengan mendanai korporat tapi usaha kecil menengah dan mikro.
Gunarni mengakui, secara teknis baru 30 persen UMKM yang bisa dilayani oleh perbankan wasta saat ini. Namun, komitmen untuk membantu usaha kecil tersebut, ujarnya sudah ada. Persentase yang masih kecil tersebut, dikarenakan, adanya sistem perbankan yang masih belum merubah alurnya untuk membantu usaha kecil. Masih memakai sistem lama. Saat ini sedang dilakukan perbaikan, tuturnya.
Walaupun merupakan hal yang strategis, namun, dalam memenuhi fungsi intermediasinya, perbankan saat ini, ujar Gunarni, belum memenuhi ekspektasi sektor riil. Fungsi intermediasi, lanjutnya merupakan jalan untuk menggali sumber keuangan dalam negeri untuk menggerakan roda ekonomi, setelah kontrak kerja dengan IMF berakhir.
Ketua Umum Perbanas itu sepakat dengan Tony, bahwa peningkatan disclosure (keterbukaan) diperlukan bagi pengingkatan kinerja perbankan.
(Yophiandi-TNR)