Para pedagang bunga, yang juga terkena gusur, awalnya berusaha melawan hingga terjadi bentrokan. Namun, ketika para preman pun kemudian terjun membantu aparat eksekusi, meeka hanya mampu berdiri melongo, menyaksikan lahan mereka diratakan. Tak kalah mengenaskannya adalah anak-anak penghuni Panti Asuhan Anak-anak Kinderdof, yang telah menguhuni kawasan itu sejak tahun 1970-an.
Mereka, sebagaimana warga lain seperti Teddy dan Teguh, mengakui mereka mengusai surat tanah yang sah atas lahan tersebut. Menurut keduanya, mereka membeli tanah dari salah seorang ahli waris Adiwarta, yaitu almarhum Tata Lukito. Namun hal itu dibantah oleh Elan Gumbira dan Boy Darmawan, dua pengusaha muda yang hendak melakukan pembangunan di wilayah tersebut. Menurut Elan, Lukito hanya mengaku-aku sebagai ahli waris Adiwarta.Sementara, menurut Kepala BPN Kabupaten Bandung, Iwa Rukiwa, mengakui pihaknya pada 1999 telah mengeluarkan sertifikat tanah 4 desa, Desa Lembang, Jayagiri, Cikahuripan dan Gedung Cikahuripan. Namun hanya sebanyak 1.099 buah, atau paling 20 persen dari seluruh sertifikat tanah Lembang yang bermasalah. Berdasarkan keputusan PNB no.990/1953/Sipil, tanah yang semula milik Tuan Orzone, seorang warga Belanda, seluas 170 hektar digarap oleh keluarga Adiwarta. Setelah Orzone, meninggal tanah itu menjadi hak istrinya, Nyoya Urkinah dan ahli waris anak-anaknya, Madtasik. Tetapi dalam sengketa antara ahli waris Madtasik melawan Adiwarta, yang mulai diajukan pada tahun 1953, tanah-tanah tersebut menajdi milik Adiwarta. (Upiek supriyatun/TNR)