Menurut Soemantri, penyanderaan dipandang melanggar hak asasi manusia karena sanksi paksa badan tersebut bukan saja mengurangi kebebasan individu, tetapi merampas seluruh kebebasan yang dimiliki. Bayangkan saja menderitanya seorang yang disandera. Bahkan lebih bebas orang yang dipenjara.
Dalam rapat paripurna kemarin (9/7), DPR secara aklamasi mengesahkan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota yang memberikan kewenangan kepada parlemen di pusat dan daerah untuk memanggil paksa para pejabat negara dan warga negara yang mangkir dari panggilan untuk memberikan keterangan. Bukan cuma sekedar pemanggilan paksa, Pasal 30 ayat (4) UU tersebut juga memberikan kewenangan kepada parlemen untuk melakukan penyenderaan selama 15 hari, terhadap pejabat atau warga negara yang mangkir.
Sanksi penyanderaan, menurut Soemantri, dahulu pernah dipraktekkan di beberapa negara termasuk Indonesia, misalnya dalam kasus utang piutang. Seorang yang berutang dan tidak mampu melunasinya, bisa diancam sanksi penyanderaan, ujarnya. Tetapi sudah sejak lama, sanksi tersebut dihilangkan. (Amal Ihsan-Tempo News Room)