TEMPO Interaktif, Jakarta:Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak permintaan Tim Ad Hoc Kerusuhan Mei 1998 untuk memanggil paksa sejumlah perwira TNI/Polri sebagai saksi kerusuhan itu. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Mohammad Saleh menyampaikan keputusan penolakan itu kepada Ketu Tim Ad Hoc Salahuddin Wahid.
Saleh menjelaskan, ada beberapa alasan penolakan permohonan itu. Misalnya, adanya perbedaan pendapat atau penafsiran antara tim ad hoc dengan tim advokasi perwira TNI/Polri mengenai Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 dan No. 39 Tahun 1999 tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat.
Menurut Saleh, meskipun Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 menganut asas retroaktif, yakni kasus pelanggaran hak asasi berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini dapat dituntut dan diadili di Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc. Persoalannya siapakah yang berwenang membuka kran asas retroaktif lebih dahulu. Apakah Komnas HAM ataukah DPR? katanya, saat membacakan jawaban penolakan bantuan kepada tim ad hoc.
Kasus yang terjadi sebelum dan sesudah diundangkannya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 mempunyai mekanisme proses hukum yang berbeda. Sebelum lahirnya undang-undang, kata dia, tergantung pada keputusan politik DPR, apakah kasus itu layak atau tidak diteruskan ke pengadilan ad hoc. Bila layak, maka DPR akan merekomendaikannya kepada Presiden. Melalui keputusan presiden inilah pengadilan ad hoc dapat terbentuk.
Penolakan permohonan pemanggilan paksa itu menanggapi surat ketua tim ad hoc tertanggal 23 Juli 2003 mengenai permohonan bantuan pemanggilan paksa sembilan jenderal TNI untuk dimintai klarifikasinya. Para jenderal tersebut di antaranya bekas Menteri Pertahanan/Panglima TNI Jenderal (Purn) Wiranto, bekas Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Syamsoeddin, Kepala Badan Intelijen ABRI Mayjen Zacky Makarim, bekas Panglima Kostrad Letjen (Purn) Prabowo Subianto, Gubernur DKI Sutiyoso, bekas Kepala Polres Jakarta Utara Syahril Cuba, Komandan Skuadron Udara Dwi Satmiko dan Rismawan.
Tim ad hoc mengaku kecewa atas keputusan pengadilan itu. Kami kecewa dan tidak puas. Tapi kami harus menghormati karena itu wewenang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ujar Salahuddin Wahid.(Putri Alfarini/Purwanto/Bayu Hari-Tempo News Room)