TEMPO Interaktif, Jakarta:Imparsial menyesalkan pernyataan Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil yang menyatakan Indonesia membutuhkan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri atau Internal Security Act (ISA) untuk memerangi terorisme. Kami sangat menyesalkan pernyataan Matori dengan alasan hak azasi manusia untuk menerapkan ISA, kata Munir, Direktur Imparsial, di kantornya, Jakarta, Selasa (12/8) siang.
Munir mengatakan, penyelesaian masalah terorisme tidak perlu diselesaikan dengan sistem yang sama dengan apa yang diterapkan di Singapura dan Malaysia. Sistem itu, menurut Munir, merupakan sistem peninggalan kolonial yang digunakan untuk menghadapi gerakan politik pribumi. ISA ini bersifat draconian (kasar dan brutal) karena menolak prinsip demokrasi serta hak asasi manusia.
Bekas Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Bambang Widjoyanto menilai, gagasan pemberlakuan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri untuk mengatasi aksi terorisme di Indonesia adalah kurang tepat. "ISA bisa menjelma menjadi proses kembalinya Undang-Undang Subversif," kata Bambang kepada wartawan di gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa (12/8).
Ia menjelaskan, kelemahan Undang-Undang Subversif adalah dipakai untuk mengatasi berbagai sikap, perlikau, dan pandangan kritis berbagai masyarakat. "Jadi ada pembelokan makna bahwa sikap kritis itu merupakan bagian dari makar," katanya
Peneliti Center for Strategic and International Studies Kusnanto Anggoro menilai penerapan Undang-Undang Kemanan Dalam Negeri untuk mengantisipasi aksi-aksi terorisme yang marak di Indonesia, tidak tepat. Penerapan aturan itu, menurut dia, justru dikhawatirkan dapat menyebabkan set back bagi kehidupan demokrasi di Indonesia yang sedang berada dalam masa transisi. Kalau itu (terorisme) masalahnya, jalan keluarnya saya kira bukan ISA, ujar Kusnanto.
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra mengatakan, jajaran politik dan keamanan baru akan membahas soal Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri, Kamis (14/8) mendatang. Selama ini belum pernah ada pembicaraan resmi dari pemerintah yang membahas soal ISA. "Sudah lama ada debat, tapi belum pernah ada pembicaraan resmi, kata Yusril, Selasa (12/8).
Menurutnya, selama ini yang terjadi adalah lontaran beberapa pihak yang kemudian menjadi wacana. ISA sendiri adalah khas milik Singapura dan Malaysia, yang hampir sama seperti undang-undang subversif pada waktu yang lalu. "Kita tidak akan meniru apa yang dilakukan Singapura dan Malaysia," kata Yusril. (Purwanto/Yandi/Indradar/Andi-Tempo News Room)