Pemancangan tiang, bahkan telah dilakukan pekan lalu. Pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 150 megawatt itu dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan listrik di Bali yang sudah mulai krisis. Saat ini, kebutuhan listrik sebesar 350-360 megawatt, daya terpasang yang ada 450 megawatt. Kebutuhan diperkirakan terus meningkat 10-12 persen per tahun.
Selama ini, pasokan listrik wilayah Bali diambil dari pembangkit di Gilimanuk dengan kapasitas 130 megawatt dan pembangkit di Pesanggaran yang berkapasitas 270 megawatt. Untuk mengatasi terjadinya krisis listrik, pemerintah membangun pembangkit baru dengan investasi US$ 50 juta. Proyek ditentang warga dengan alasan mencemarkan lingkungan.
Kami sudah mengantongi izin dari pemda, kata Manajer Proyek Relokasi PLTGU Pemaron Patemin Eko Dwinanto kemarin. Menurut dia, dalam kasus ini, pihaknya hanya sebagai pelaksana kebijakan pemerintah. Karena itu, proyek US$ 50 juta itu tetap dilanjutkan, selama pemerintah tidak mencabut izin yang telah diberikan.
Berikut, penjelasan Patemin kepada Retno Sulistyowati dari Tempo News Room di kantornya.
Warga memprotes pembangunan pembangkit di Pemaron. Bagaimana sikap Indonesia Power?
Kita pisahkan antara gugatan dengan pekerjaan di lapangan. Yang digugat (di-PTUN-kan) itu kan surat izin prinsip dan pembebasan lahan seluas 6,5 hektare, yang diterbitkan Bupati Buleleng. Jadi, posisi Indonesia Power bukan sebagai pihak yang digugat.
Artinya, proyek terus dilanjutkan?
Itu tergantung pemerintah. Indonesia Power kan sebagai pemohon saja. Kalau tidak dikasih izin, kita juga tidak membangun. Bagi kami, yang penting ada kepastian hukum dari pemerintah, boleh atau tidak pembangunan dilakukan.
Kapan pemancangan tiang dilakukan?
14 Agustus lalu, setelah surat izin mendirikan bangunan (IMB) keluar pada 7 Agustus.
Bagaimana dengan protes warga?
Yang mereka khawatirkan sebenarnya adalah air yang keluar akan membunuh terumbu karang. Padahal, beda air yang keluar dan masuk, sampai di pinggir laut itu hanya 2 derajat. Nanti, kira-kira 100-200 meter, suhunya sudah sama kembali. Jadi, tidak ada alasan bahwa proyek ini merusak terumbu karang. Apalagi, Pemda telah melakukan berbagai pertimbangan, sebelum izin diterbitkan.
Ada pembandingnya?
Ada, proyek yang sama di Gresik dan Grati, Jawa Timur, atau PLTGU di Tanjung Priok sejak 1992 dan Muara Tawar sejak 1993. Tidak ada masalah sampai sekarang. Padahal, di Tanjung Priok dan Muara Tawar itu kapasitasnya jauh lebih besar, 10 kali lipat.
Bila pemda mencabut izin, berapa kerugian Indonesia Power?
Yang pasti, nilai investasi sebesar US$ 50 juta, antar lain untuk beli mesin baru, sebagai tambahan mesin dari Tanjung Priok. Mesin direlokasikan, karena kebutuhan di Tanjung Priok telah terpenuhi. Pemindahan mesin dimaksudkan untuk membantu sistem kelistrikan di Bali yang sudah mulai kritis.
IklanScroll Untuk MelanjutkanMemang sekarang orang melihat tidak ada kekurangan yang signifikan, bila tidak terjadi kerusakan atau perbaikan mesin di salah satu pembangkit. Tetapi, pembangkit dengan jumlah daya yang dibangkitkan itu sudah hampir sama tidak ada spernya lagi. Akibatnya, bila mesin mati satu, pasokan sudah berkurang, dan terjadilah pemadaman.
Dampak terburuk apa yang akan terjadi, bila proyek itu gagal?
Kita tinggal tunggu waktu saja untuk pemadaman. Sekarang pertumbuhan kebutuhan listrik sudah mencapai 10-12 persen. Bila tidak terjadi bom Bali, mungkin sekarang sudah ada pemadaman.
Akan ada upaya pendekatan lain?
Kita sudah melakukan sosialisasi dan berbagai pendekatan. Intinya, orang kalau tidak mau mengerti, diapa-apakan juga tidak mau mengerti. Tapi, bukan berarti mereka tidak mengerti. Walaupun sosialisasikan beribu-ribu kali, juga tetap tidak mau mengerti.
Ada kemungkinan masyarakat meminta kompensasi?
Kami juga pernah mempertanyakan itu. Mereka hanya minta pembangunan tidak dilakukan di Pemaron. Harus dipindahkan ke tempat lain.
Apa sebenarnya kerugian warga bila proyek diteruskan?
Sebenarnya nggak ada. Intinya, mereka tidak memahami sistem. Tinggal pemerintah, mau memihak kepentingan orang yang sedikit atau yang banyak.
Bagaimana dengan solusi yang mereka tawarkan untuk membangunnya di Gilimanuk?
Masalahnya, mereka tidak tahu kebutuhan sistem. Kalau dibangun di Gilimanuk, sistemnya tidak bisa. Mengalirkan listrik itu sama dengan mengalirkan air. Kalau salurannya sudah penuh, tidak bisa dipakai lagi.
Pembangkit ada di Gilimanuk dan Denpasar. Sedangkan di daerah utara tidak ada. Sementara pusat beban berada di di Buleleng, Denpasar, dan Karangasem. Sistem menghendaki pembangkit di daerah utara. Kita pilih di Pemaron.
Kenapa Pemaron dipilih?
Di situ kita punya gardu induk dan tanah, sehingga investasi yang diperlukan tidak terlalu besar. Bila dipindahkan ke Gilimanuk, tidak ada artinya. Kendati kapasitas mesin besar, tetapi tidak bisa disalurkan karena saluran di situ sudah penuh. Kecuali dilakukan penambahan saluran. Itu butuh investasi lagi. Pemerintah dan PLN tidak punya dana.