Kesimpulan tersebut disampaikan anggota cabinet, Menteri Keuangan Boediono usai salat Jumat (31/10) di kantornya. Menurut Boediono, untuk tahun 2004, pemerintah tidak punya cara lain untuk meringankan anggaran dari beban pembayaran utang sebesar Rp 68 triliun. Cara yang paling mungkin, katanya, adalah dengan pertukaran utang dengan program pemerintah (debt swap), seperti yang dilakukan selama ini. Namun, cara seperti itu hanya kecil saja jumlahnya.
Debt swap yang dilakukan oleh pemerintah adalah kerja sama dengan Jerman senilai DM 50 juta. Cara yang sama akan dilakukan tahun depan dengan pemerintah Inggris dan Perancis.
Kata Boediono, upaya meringankan beban utang perlu dilaksanakan tapi dengan rambu-rambu normal sesuai dengan standard internasional. Untuk saat ini, katanya, pemerintah tidak mungkin lagi meminta penjadualan utang kepada negara-negara kreditor yang tergabung dalam Paris Club, karena sudah keluar dari program dana moneter internasional (IMF). Negosiasi satu persatu antarnegara juga tidak mungkin. Mereka sudah tak mau, katanya.
Ketika ditanya mengenai pola baru yang dikeluarkan oleh Paris Club untuk negara-negara tidak miskin, Boediono mengaku belum mengetahuinya. Tanggal 29 Oktober kemarin, Paris Club secara resmi mengeluarkan siaran pers yang berisi skema penjadualan utang bagi negara-negara non-HIPIC (Highly Indebted Poor Income Countries).
Dalam skema baru itu, negara-negara non-HIPIC bisa mengajukan penjadualan utang langsung kepada negara kreditor dengan mengajukan pemberitahuan lebih dulu. Skema ini merupakan hasil pertemuan negara-negara kreditor di Paris pada 8 Oktober lalu. Skema penjadualan utang bagi negara non-HIPIC juga atas desakan yang dikeluarkan Presiden Brasil Lula da Silva.
Laporan negosiasi utang bilateral ini juga rekomentasi dari DPR agar dana untuk bayar utang bisa dialokasikan untuk dana anggaran pembangunan dan anggaran rutin.
bagja hidayat/TNR