Maulana Sagala, alumnus Trisakti yang menjadi juru bicara gerakan ini menerangkan arti penamaan strip hitam, sebagai simbol noda pelanggaran HAM masa lalu dan kini. "Masa depan tidak akan ada bagi generasi muda, bila pelanggaran masa lalu tidak diselesaikan secara tuntas," ujarnya.
Gerakan ini, ujar Maulana, mengambil sosialisasi dalam budaya pop, untuk lebih bisa masuk dalam kalangan muda saat ini. "Agar generasi muda bisa lebih memahami gerakan perjuangan HAM yang ingin ditegakkan," ujarnya.
Gerakan ini membuat produk seperti cakram padat yang berisi kompilasi musik dan sastra dari beberapa pemusik beraliran underground, seperti grup "Tengkorak", "Sarcastic", "Thrash Line" "Jeruji." Selain itu, turut juga digandeng penyanyi Indie label Oppie Andariesta dan Dik Doank.
Sementara itu, ada suara dari beberapa sastrawan muda, seperti Ayu Utami, selain beberapa tokoh, seperti Dita Indah Sari, dan Salahuddin Wahid, serta keluarga korban pelanggaran HAM. Selain itu, bentuk kampanye juga dilakukan dalam bentuk spanduk, poster, dan, stiker.
Produser cakram padat tersebut, vokalis "Tengkorak," Ombat Nasution, mengatakan, penggunaan media musik untuk lebih mendekatkan generasi muda pada ide penegakkan hak asasi manusia di Indonesia. "Tidak hanya peristiwa Trisakti, Semanggi, tapi juga seperti penggusuran," katanya. Dikatakannya, keuntungan dari penjualan cakram padat tersebut, akan digunakan untuk membuat cakram lainnya, serta pembiayaan bagi perjuangan penegakkan hak asasi manusia.
Sekretaris Jenderal Tim Penuntasan Kasus 12 Mei, John Muhammad, mengakui, ada ketakutan akan distorsi perjuangan penegakan hak asasi manusia dengan penggunaan media budaya pop. "Memang kerap menghanyutkan sehingga ada ketakutan kehilangan semangat esensinya," ujarnya. Namun, katanya, timnya berusaha untuk membuat hal itu tidak menjadi hipnotis pada bentuk musik atau pun sastranya belaka.
Yophiandi - Tempo News Room