Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta:Nani, sebut saja begitu, tak pernah menyangka anaknya semata wayang dianggap tak berayah oleh negara. Pada 2001, saat Dudi lahir, suaminya, pemborong bangunan, senang bukan main. Tapi, saat kelahiran Dudi didaftarkan ke catatan sipil, petugas menolak mencantumkan identitas Andi sebagai ayah Dudi. "Karena perkawinannya tak dicatat oleh catatan sipil," kata Engkus Ruswana, salah satu tetua Sunda Wiwitan (aliran kepercayaan di Kuningan, Jawa Barat), menuturkan kisah yang dialami anggotanya kepada Tempo, Kamis lalu. Alasan penolakan itu, keduanya tak memeluk salah satu agama yang diakui pemerintah seperti yang diatur Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 alias menjadi penganut aliran kepercayaan atau penghayat. Padahal Undang-Undang Dasar 1945 mengakui pemeluk aliran ini. Buntutnya, perkawinan yang tak direstui negara itu berdampak pada Andi. "Sekarang dia trauma, tak ingin punya anak lagi," kata Engkus, yang juga kakak ipar Nani. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Gerakan Antidiskriminasi, dan para pemeluk aliran kepercayaan menggugat hal itu ke Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat pertengahan November lalu. Sebab, Rancangan Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang tengah dibahas komisi itu hanya mengatur soal pencatatan agama penduduk sebagai dokumen kependudukan. Pencatatan penganut kepercayaan ternyata tidak diatur. Dengan klausul semacam itu, para penganut kepercayaan seolah dianggap tak bertuhan. Akibatnya, selama ini, banyak kaum penghayat yang dipinggirkan negara. Mereka yang menjadi pegawai negeri sipil, misalnya, harus rela tak mendapat tunjangan buat istri dan anak hanya karena di kartu tanda penduduknya tertulis "belum menikah". Status ini muncul karena pernikahan mereka tak dicatat catatan sipil. Hingga 20 November lalu, tim perumus Panitia Khusus DPR yang membahas RUU tersebut masih menolak tuntutan kaum penghayat dan Komnas HAM. Alasan utama penolakan adalah kekhawatiran munculnya kembali pelbagai aliran yang pernah dilarang di Indonesia. "Sekali kita menyetujui adanya kepercayaan, nanti muncul aliran-aliran lama yang sudah dilarang," kata Sayuti Asyathri, Ketua Panitia Khusus RUU Administrasi Kependudukan. Untuk menepis kesan diskriminatif, dia melanjutkan, diusulkan agar kelompok penganut kepercayaan tetap diakomodasi dalam pencatatan kependudukan dan catatan sipil. "Perlakuannya akan sama dengan penganut agama yang diakui pemerintah," ujar politikus dari Partai Amanat Nasional tersebut. Pada Jumat lalu, rumusan itu diketuk sudah. Peluang diskriminasi terhadap kaum penghayat ditutup dengan pasal 8 ayat 4 yang berbunyi, "Kewajiban sebagaimana ayat satu untuk tata cara dan persyaratan pencatatan juga berlaku bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama menurut peraturan perundangan atau bagi penghayat kepercayaan." Dengan aturan ini, kata Sayuti, "Tak ada lagi ruang kosong bagi munculnya perlakuan diskriminatif terhadap kaum penghayat." Suharso Monoarfa dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan menambahkan, jaminan pelayanan tanpa diskriminasi ini akan segera dimasyarakatkan secara intensif. "Kalau aparat melanggar, ya, dikenai sanksi." Namun, Engkus tetap masih ragu. Sebab, pasal 65 RUU itu masih menyebutkan, bila memerlukan dokumen negara, kaum penghayat harus mengajukan permohonan ke pengadilan. Hal itu tak berlaku bagi warga yang menganut salah satu dari enam agama yang diakui. "Artinya, itu masih diskriminatif," katanya. Engkus mengancam, jika pasal-pasal yang diskriminatif tak dihilangkan, dia akan mengajukan judicial review begitu undang-undang tersebut disahkan. "Kami juga akan melapor ke Komisi Hak Asasi Manusia PBB," katanya. YOPHIANDI