Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Seragam Khusus Koruptor

image-gnews
Iklan
Ide Komisi Pemberantasan Korupsi tentang seragam khusus dan memborgol koruptor baru-baru ini telah menjadi perbincangan hangat berbagai kalangan masyarakat. Ide ini muncul untuk memberikan efek jera sekaligus menumbuhkan budaya malu bagi koruptor yang bersangkutan, dan diharapkan dapat menjadi serangan psikis terhadap calon-calon koruptor yang lainnya.Selama ini tersangka maupun terdakwa kasus korupsi yang ditangani baik oleh kejaksaan maupun KPK selalu diberi kebebasan cukup luas untuk mengenakan pakaian rapi dan terkesan mewah saat menjadi pesakitan kasus korupsi. Keleluasaan itu menciptakan citra di masyarakat bahwa seorang koruptor yang memakan uang rakyat diperlakukan baik oleh penguasa. Mereka bebas mengenakan jas, kemeja rapi, sampai mengenakan makeup berlebihan, sehingga terlihat gagah atau cantik dan terawat saat menghadiri persidangan. Layaknya selebritas, para koruptor semakin tidak malu berbicara dan berpose di media massa.Selain seragam khusus, KPK mengusulkan agar para koruptor nantinya diborgol saat penanganan kasus korupsi seperti pelaku kejahatan luar biasa, misalnya teroris dan pengedar narkoba. Kedua ide ini juga relevan dengan hasil survei persepsi masyarakat terhadap kinerja yang dilakukan KPK. Survei yang dilakukan KPK terhadap 2.191 responden menunjukkan, 72 persen dari mereka berpendapat bahwa adanya KPK tidak menciptakan budaya malu di kalangan aparat atau masyarakat untuk melakukan korupsi.Ide seragam dan pemborgolan bagi koruptor, selain mendapat dukungan, mendapat penolakan. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata menganggap penerapan seragam khusus bagi tersangka koruptor tidak sesuai dengan asas praduga tak bersalah (Koran Tempo, 9 Agustus). Penolakan serupa mungkin pula datang dari pejabat Kejaksaan Agung dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Pengenaan seragam untuk koruptor dianggap tidak tepat, tidak menghormati lembaga peradilan, dan dinilai melanggar hak asasi manusia. Selain mereka, sudah pasti, para pejabat yang kurang bersih menolak ide dari KPK ini. Mereka pasti takut dipermalukan jika nanti dijerat dengan kasus korupsi.Meski ada penolakan, ide mengenai seragam dan pemborgolan bagi tersangka atau pelaku korupsi sudah selayaknya didukung dan segera direalisasi. Apalagi tersangka pelaku tindak kriminal yang ditangani kepolisian dan kejaksaan sudah lama mengenakan seragam atau baju tahanan. Meskipun bahasa umum yang populer digunakan adalah "seragam koruptor", untuk tetap menghargai asas praduga tidak bersalah, seragam bagi tersangka atau terdakwa korupsi cukup diberikan label: "Tahanan KPK".Argumentasi bahwa seragam koruptor dianggap melanggar hak asasi manusia juga tidak tepat. Justru tindakan korupsi yang dilakukan oleh para koruptor melanggar hak asasi manusia karena melanggar hak-hak orang lain, khususnya hak untuk mendapatkan hidup yang layak. Korupsi telah membuat jutaan orang menjadi sengsara. Semangat pengenaan seragam untuk koruptor bukan dimaksudkan untuk membatasi hak-hak orang lain, melainkan untuk memberikan efek jera.Seragam khusus itu juga akan meningkatkan kesan pendekatan hukum yang represif. Pada intinya, masyarakat tidak ingin para koruptor mendapat perlakuan istimewa, baik selama proses pemeriksaan maupun pada saat menjalani hukuman. Dengan gebrakan ini, para pejabat dan politikus akan berpikir seribu kali untuk korupsi, karena akibatnya, jika terjerat petugas KPK, benar-benar akan memalukan.Seragam khusus bagi tersangka atau narapidana bagi pelaku tindak pidana, termasuk korupsi, sesungguhnya bukanlah suatu ide baru. Beberapa negara, seperti Cina, Amerika Serikat, dan Korea Selatan, bahkan telah lama membuat aturan agar tahanan mengenakan seragam khusus selama proses pemeriksaan hingga menjalani hukuman. Adanya seragam ini menempatkan semua orang dalam posisi yang sama ketika menjalani tahanan atau hukuman. Tidak membedakan antara pelaku korupsi dan pelaku tindak kriminal lainnya serta antara pelaku yang kaya dan yang miskin.Contoh lain adalah bagaimana mantan Presiden Korea Selatan Roh Tae Woo dan Chun Doo Hwan, yang dijerat dengan kasus korupsi ketika dihadapkan ke ruang pengadilan, mengenakan seragam khusus yang disediakan pemerintah. Tidak berdasi dan berjas seperti di Indonesia ini. Tanpa disadari, selama ini aparat penegak hukum, termasuk juga KPK, sering kali memberikan perlakuan istimewa bagi orang yang disangka atau didakwa melakukan korupsi. Mereka menempatkan pelaku korupsi selayaknya seorang yang terhormat. Pada sisi lain, si pelaku korupsi terkesan tidak merasa sedang menjalani masa tahanan atau hukuman. Kondisi ini sangat berbanding terbalik dengan terdakwa kasus tindak pidana atau kriminal lainnya.Bukan rahasia lagi bahwa dengan membayar sejumlah uang, saat di dalam tahanan, para koruptor menempati sel khusus yang maksimal hanya ditempati oleh dua orang dan mendapat fasilitas kasur, AC, televisi, dan ponsel. Berbeda dengan pelaku tindak kriminal lain, yang dalam satu sel ditempati oleh enam tahanan, bahkan lebih. Mereka hanya beralas tikar dan tanpa fasilitas apa pun. Koruptor dapat menerima tamu atau kerabat tanpa batasan jam kunjungan, bahkan dapat menjalankan bisnis dari balik penjara. Sedangkan pelaku tindak kriminal, untuk menerima tamu atau kunjungan, harus menunggu jadwal besuk yang ditentukan.Menjelang atau sesudah disidangkan, terdakwa korupsi umumnya dibawa menuju dan dari pengadilan dengan mobil terpisah dan ber-AC. Hal ini berbeda dengan terdakwa tindak pidana umum yang menggunakan bus tahanan yang pengap bersama terdakwa lainnya. Di pengadilan pun, para terdakwa kasus tindak pidana umum langsung masuk ke ruang tahanan pengadilan, sedangkan terdakwa korupsi dapat duduk di ruangan khusus atau di luar ruang tahanan bersama keluarga mereka.Memberikan seragam khusus kepada tahanan kasus korupsi adalah salah satu cara untuk mengucilkan mereka. Langkah ini tetap harus diikuti dengan menghukum mereka seberat-beratnya bila terbukti bersalah. Pengawasan ekstraketat selama masa penahanan dan masa pelaksanaan hukuman bagi pelaku korupsi juga menjadi penting dilakukan untuk menjamin adanya efek jera.Selain itu, segala hak yang selama ini diterima koruptor, seperti pemberian remisi, cuti bersyarat, izin berobat, cuti menjelang bebas, dan jadwal kunjungan tanpa batas di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan, sudah selayaknya ditinjau ulang, bahkan, jika perlu, ditiadakan. Di masa mendatang, tidak perlu ada lagi perlakuan terhormat dan pemberian fasilitas bagi para koruptor. Korupsi sungguh telah memalukan bangsa ini di mata dunia, sehingga sudah sewajarnya koruptor juga harus dipermalukan dan menanggung sengsara akibat perbuatan yang dilakukan. Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

Pakar IPB Ungkap Dampak Nasi Beras Merah Campur dengan Putih

21 November 2023

Salah seorang pedagang menunjukan jenis beras sentra ramos di Pasar Tanah Merah Mutiara Gading Timur, Mustika Jaya, Bekasi, Jawa Barat, 19 Mei 2015. Beras yang berasal dari Karawang dengan merk sentra ramos diduga merupakan beras bercampur bahan sintetis. ANTARA FOTO
Pakar IPB Ungkap Dampak Nasi Beras Merah Campur dengan Putih

Mengonsumsi nasi atau beras merah saat ini dianggap menjadi sebuah solusi saat menjalani gaya hidup sehat.


Presiden Kaum Muda

1 Agustus 2008

Presiden Kaum Muda

Kini semakin banyak muncul calon presiden di republik ini. Rata-rata berusia di atas 40 tahun. Kalau menurut ukuran Komite Nasional Pemuda Indonesia, usia itu termasuk tua.


SOS Sektor Ketenagalistrikan

16 Juli 2008

SOS Sektor Ketenagalistrikan

Berbagai kebijakan yang digulirkan pemerintah, selain tidak kondusif untuk mengembangkan ketenagalistrikan secara sehat, bahkan, dalam banyak hal, justru bersifat destruktif terhadap sektor ketenagalistrikan itu sendiri.


Membersihkan Korupsi Kejaksaan

2 Juli 2008

Membersihkan Korupsi Kejaksaan

Bukti rekaman antara Artalyta Suryani dan pejabat tinggi Kejaksaan Agung yang diperdengarkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sungguh memukul dan membuat kecewa seluruh jajaran korps Adhiyaksa.


Urgensi Hak Angket BBM

27 Juni 2008

Urgensi Hak Angket BBM

Sesuai dengan Pasal 20-A UUD 1945 ayat (1), Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.


Meningkatkan Kedewasaan Bangsa

18 Juni 2008

Meningkatkan Kedewasaan Bangsa

Setelah sembilan tahun reformasi, adakah pers kita sudah lebih dewasa? Sebagai Ketua Umum Serikat Penerbit Suratkabar yang baru (menggantikan Bapak Jakob Oetama), saya harus banyak bertemu dengan tokoh pers dan keliling daerah se-Indonesia.


Mengkorupsi Bea dan Cukai

7 Juni 2008

Mengkorupsi Bea dan Cukai

Instansi Bea dan Cukai dalam beberapa hari ini telah menjadi sorotan publik yang luar biasa. Hal ini terjadi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan inspeksi mendadak di Kantor Pelayanan Utama Bea-Cukai Tanjung Priok, Jumat, 30 Mei 2008.


Menggali Jejak Kebangkitan

21 Mei 2008

Menggali Jejak Kebangkitan

Bagaimanakah kita harus memaknai seratus tahun kebangkitan nasional? Rasa-rasanya, bagi kebanyakan orang saat ini, sebuah perayaan sebagai bentuk parade sukacita bukanlah pilihan.


Gagalnya Manajemen Perparkiran

9 Mei 2008

Gagalnya Manajemen Perparkiran

Di tengah kegelisahan masyarakat atas melambungnya berbagai harga bahan kebutuhan pokok dan kenaikan harga bahan bakar minyak, Pemerintah DKI Jakarta justru menyeruak dengan kebijakan yang rada ganjil: menggembok mobil.


Penggeledahan Ruang Dewan

30 April 2008

Penggeledahan Ruang Dewan

Untuk kesekian kalinya, langkah hukum Komisi Pemberantasan Korupsi mendapat tentangan dari lembaga tinggi negara.